Sekarang saya memahami, sejak lama, betapa istimewanya sosok bernama Habibie ini  di hati masyarakat kampung.
Yang menarik, nama Habibie juga lengket di sanubari sebagian petani.
 Musim kampanye tahun 2019 lalu, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada  beberapa petani yang lagi ngumpul.  "Menurut kalian, setelah  dipimpin 7 atau 6 presiden, selain zaman Pak Harto  kepemimpinan siapa yang paling enak?"
Sebagian besar menjawab, Pak Habibie. "Semasa beliau hasil tani dihargai mahal. Terutama kopi. Sayangnya dia tak lama berkuasa."
Dalam hati saya mendukung pernyataan mereka. Sebab, saya ikut menikmati tingginya harga jual kopi saat itu.
Untuk diketahui, Â pertanyaan tersebut cuma iseng dan spontanitas saya ajukan kepada 2 Â kelompok petani kopi berbeda pada hari berbeda pula. Â Mungkin jawabannya akan lian jika disampaikan kepada petani karet atau petani kelapa. Tetapi di sini subtansinya bagaimana seorang Habibie di kalangan masyarakat akar rumput.
Terkait pertanyaan tadi, saya  beragumen sekenanya dengan bahasa yang mudah mereka pahami. Terlepas dari benar atau salahnya penjelasan saya.  "Kata bapak-bapak di TV, kopi itu salah satu komuditi  ekspor. Orang luar negeri  beli kopi kita dengan dolar. Kalau dirupiahkan jadi mahal. Kebetulan zaman itu nilai dolar sedang melonjak."
"Sekarang, TV bilang dolar juga  terus naik. Tapi hasil tani kita tetap murah," protes satu darinya yang pernah mengenyam pendidikan SMA.
Saya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Faktanya memang begitu.
Ujung-ujungnya, mereka rame-rame menyalahkan capres petahana. Karena para petani di daerah saya umumnya pendukung capres 02.
Beginilah seoranga BJ Habibie di mata orang kampungku. Kisah ini menguatkan pembuktian  bahwa,  "gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Selamat jalan Bapak Teknologi Indonesia.
****Â