Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

BJ Habibie di Kalangan Masyarakat Akar Rumput

14 September 2019   06:14 Diperbarui: 14 September 2019   07:20 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : kompas.com

Kepergian Almarhum BJ Habibie untuk selama-lamanya, menyisakan duka mendalam bagi masyarakat Indonesia. Betapa tidak. Semasa hidupnya  Presiden ke 3 RI ini  dikenal sebagai seorang negarawan sejati, genius, agamais, nasionalis dan segudang karakter lain yang melekat padanya. Sesuai dengan prestasi kerjanya dalam membangun  negeri ini. 

Karyanya yang paling mendunia adalah bidang kedirgantaraan.  Tak heran, ucapan berduka cita atas meninggalnya beliau mengalir dari  beberapa pemimpin negara di dunia.

Lalu bagaimana pandangan masyarakat akar rumput terhadap Bapak kelahiran Parepare ini. Berikut secuil gambarannya.

Khusus bagi orang awam di daerah saya, nama  BJ Habibie selalu identik dengan kapal terbang. Kesan ini berawal dari pertama tersiarnya informasi,  bahwa  Indonesia telah memiliki industri pesawat terbang yang bernama  Nurtanio. Sekarang IPT-Nusantara/IPTN/PT Dirgantara Indonesia. (wikipedia.org).

Disebutkan pula Nurtanio  asli karya putra bangsa paling pintar  se Indonesia bernama Habibie. Kalau tak salah ingat, kabar ini berkembang sekitar tahun 1978.

Begitu populernya suami Hasri Ainun Besari ini pada zaman itu. Setiap namanya desebut, hampir dipastikan yang terlintas di benak masyarakat adalah kata "cerdas" dan "pesawat terbang".  

Padahal, jangankan orangnya  foto yang menampilkan wajah Habibie pun belum tentu pernah mereka lihat. Kecuali anak sekolahan yang dapat menyaksikannya dalam gambar pada buku.

Saking ngfensnya, banyak  orang tua yang  menamakan bayinya Habibi. Alasannya  simple. "Habibi itu bahasa Arab. Artinya kekasihku. Kami berharap  apa bila kelak putra kami ini besar, dia menjadi kekasih Tuhan, disayangi orang banyak.  Dan tumbuh menjadi anak cerdas seperti Habibie. Sebab, nama itu adalah doa?"  Argumen yang masuk akal.

Jempolan buat mereka. Era gelap yang  nyaris belum tersentuh cahaya informasi, ada pribadi yang berpikir pengen anaknya cerdas seperti Habibie. Padahal semasa itu komunikasi  belum lancar seperti sekarang.

Kami (saya dan warga setempat) tak tahu bagaimana bentuknya HP. Belum kenal seperti apa televisi. Apalagi  dunia misterius yang bernama internet. Surat kabar dan majalah cuma sebatas ibu kota kabupaten, yang  jaraknya 15 kolometer.  Biasa ditempuh dengan sepeda atau jeep treler (jika kebetulan ada). Bahkan saya dan suami pernah pergi ke kota dengan berjalan kaki.

Sumber informasi berbasis elektronik satu-satunya adalah radio. Itu pun tidak semua orang memilikinya. 

Sekarang saya memahami, sejak lama, betapa istimewanya sosok bernama Habibie ini  di hati masyarakat kampung.

Yang menarik, nama Habibie juga lengket di sanubari sebagian petani.

 Musim kampanye tahun 2019 lalu, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada  beberapa petani yang lagi ngumpul.  "Menurut kalian, setelah  dipimpin 7 atau 6 presiden, selain zaman Pak Harto  kepemimpinan siapa yang paling enak?"

Sebagian besar menjawab, Pak Habibie. "Semasa beliau hasil tani dihargai mahal. Terutama kopi. Sayangnya dia tak lama berkuasa."

Dalam hati saya mendukung pernyataan mereka. Sebab, saya ikut menikmati tingginya harga jual kopi saat itu.

Untuk diketahui,  pertanyaan tersebut cuma iseng dan spontanitas saya ajukan kepada 2  kelompok petani kopi berbeda pada hari berbeda pula.  Mungkin jawabannya akan lian jika disampaikan kepada petani karet atau petani kelapa. Tetapi di sini subtansinya bagaimana seorang Habibie di kalangan masyarakat akar rumput.

Terkait pertanyaan tadi, saya  beragumen sekenanya dengan bahasa yang mudah mereka pahami. Terlepas dari benar atau salahnya penjelasan saya.  "Kata bapak-bapak di TV, kopi itu salah satu komuditi  ekspor. Orang luar negeri  beli kopi kita dengan dolar. Kalau dirupiahkan jadi mahal. Kebetulan zaman itu nilai dolar sedang melonjak."

"Sekarang, TV bilang dolar juga  terus naik. Tapi hasil tani kita tetap murah," protes satu darinya yang pernah mengenyam pendidikan SMA.

Saya diam. Tak tahu harus menjawab apa. Faktanya memang begitu.

Ujung-ujungnya, mereka rame-rame menyalahkan capres petahana. Karena para petani di daerah saya umumnya pendukung capres 02.

Beginilah seoranga BJ Habibie di mata orang kampungku. Kisah ini menguatkan pembuktian   bahwa,  "gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang". Selamat jalan Bapak Teknologi Indonesia.

**** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun