Mohon tunggu...
Nursini Rais
Nursini Rais Mohon Tunggu... Administrasi - Lahir di Pesisir Selatan, Sumatera Barat, tahun 1954.

Nenek 5 cucu, senang dipanggil Nenek. Menulis di usia senja sambil menunggu ajal menjemput.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Noktah Hitam di Pasar Sakura

13 Juli 2018   23:34 Diperbarui: 14 Juli 2018   00:01 2514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: kacamata.com

"Mari, Buk! Masih panas," Gadis bertopi lebar itu menawarkan dagangannya. Tulus dan ramah. Itulah kesan pertama yang kutangkap darinya.

Namun aku bingung. Rasanya pernah mengenal dia. Tapi lupa kapan dan di mana. Sambil mengerutkan kening, kuhimpun semua ingatan yang terserak. Namun semakin liar. Ya. Sudahlah. Kuabaikan saja. Aku mendekatinya.

Anak muda itu merespek tingkat tinggi. Ia membuka tutup wadah dagangannya. "Berapa bungkus, Buk? Satunya cuman dua ribu lima ratus."

"Dua," jawabku sambil mengangkat telunjuk dan jari tengah.

Dengan cekatan dia memasukkan dua bungkus susu kedelai tersebut ke kresek kecil merah muda.

Kubayar dengan uang pas, lalu pergi. Dalam hati aku memuji betapa remaja cantik itu rendah hati. Tidak malu menawarkan dagangannya kepada semua orang yang lewat. Termasuk aku.

Setiap aku ke Pasar Sakura, pasti bertemu dengannya. Dia berjualan sambil berdiri di samping parkiran ojek. Rutin pula aku menyisihkan uang lima ribuan untuk belanja susu kedele.  

Salut dengan keuletannya, aku mendaulat diri sebagai pelanggan tetapnya. Bahkan sudah akrab.

Sebulan kemudian, dia tampil agak berbeda. Biasanya pakai baju kemeja panjang tangan dan celana jeans biru, hari itu dia mengenaki kaos longgar lengan sesiku dan kulot. Tapi tetap pakai topi lebar. Dadaku berdesir ketika terlihat noktah hitam menempel di tangan kirinya. "Siapa namamu, Nak?" tanyaku.

"Syofni." Gadis itu tersenyum. Manis sekali. 

Dadaku sesak. "Ka ... kamu anaknya Bi Syofinah ya?"

"Lhoh. Ibuk kenal ibu saya."

"Ya, kenal, lah," balasku kikuk. "Semasa remaja dia tinggal bersama saya. Putra pertama saya besar dalam gendongan dia. Yang ke dua, Wajah, warna kulit, dan tanda lahir di tanganmu  delapan puluh persen mirip. Bukankah ibumu dulu kembali ke Lubuk Linggau?" Aku berusaha tersenyum dan bersikap wajar. Agar dia tidak curiga ada kegalauan di benakku.

"Iya. Beliau meninggal semasa saya berusia 6 tahun. Semenjak itu, saya diboyong paman ke kota Jambi ini," balasnya.

Aku linglung. Sekujur tubuhku berkeringat dingin. Ingin aku membumihanguskan dosa besar yang terkalung di leherku. Karena telah memaksa suami tercinta menceraikan Syofinah dan mengembalikan dia kepada orangtuanya. Padahal saat itu perempuan yang dua bulan dinikahinya itu tengah hamil muda.

"Ini, Buk ...!" Remaja itu menyerahkan belanjaanku, "Uang pas ya, Buk!" tambahnya.

Astaghfirullah ....

"Ngelamun Ibuk ...?" Gadis itu tersenyum lagi seraya menempelkan kresek belanjaan tadi ke tanganku.

"I ... iya. Maaf." Lagi-lagi aku beristighfar dalam hati.

***

Jambi, 13072018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun