Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Remaja

14 November 2020   16:43 Diperbarui: 14 November 2020   16:50 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi remaja/Foto:pixabay.com

"Farah Chan jadi bendahara acara perpisahan sekolah kita?" ulang Icha, tak percaya. Terbayang wajah gadis berjilbab dengan kacamata minus yang murah senyum namun kalem tersebut.

"Kenapa emangnya, Cha?" tanya Pandu. "Kok kayak kebakaran jenggot?"

"Enak aja, lu,"sungut Icha. "Gue cewek normal, Jack. Masak jenggotan!"

"Peribahasa, Cha, perumpamaan," ujar Pandu, agak geli.

Sejenak wajahnya lebih serius. "Cha, Farah itu OK, dapat diandalkan. Pinter, juara kelas, cantik lagi. Gue yakin dia bisa kerjasama dengan kita."


"Oke, oke, dia cantik, Pinter, juara kelas. Trus kenapa jadi bendahara? Kan masih ada anak-anak OSIS yang biasa pegang keuangan. Nah, si Maya sendiri pacar lu mau dikemanain, Du? Dia malah bendahara OSIS!" serang Icha.

Pandu mendelik, agak memerah wajahnya sewaktu nama kekasihnya disebut-sebut. Memang itu tujuan Icha biar Pandu tersulut sentimennya!

"Maya itu lain urusan deh. Please dong, dia tuh lagi cemburu berat sama Farah. Jangan cari gara-gara deh," Pandu mengiba.

"Kita fokus aja sama Farah. Jelas lu lebih tau dong tentang si Farah. Kalian tetangga kan? Nah, apa pekerjaan bapaknya Farah, Cha?"

"Pengusaha rumah makan."

"Nah! Itu sumber dana, bo! Apalagi si Farah sering pegang pembukuan di rumah makan bokapnya. Kita butuh orang yang profesional, Cha, nggak sekedar yang cuma bisa dandan atau ngerumpi!"

"O, jadi Maya itu cuma bisa dandan dan ngerumpi ya, Du?" ledek Icha. Pandu melotot. Kali ini lebih galak dari sebelumnya. Icha mengikik menang.

"Bagaimana, Wakil Ketua? Setuju nggak?"

Kali ini Icha yang keki. Soalnya dalam pemilihan ketua panitia perpisahan, ia kalah bersaing dengan Pandu. Kendati ia merasa lebih berpengalaman dalam kepanitiaan acara perpisahan sekolah. Mentang-mentang ketua OSIS, masak jabatan mau dirangkap semua sih!

"Gimana, Cha?" Kali ini dengan nada yang lebih lembut. Gaya khasnya Pandu bila menginginkan sesuatu.

Icha terdiam. Ia belum mau kalah. "Du, kamu kan tau Farah itu orang Padang..."

Ucapannya menggantung. Ah, SARA sih!

"Nah, justru itu yang kita cari. Denger, Cha, orang Padang itu dikenal pintar dan hemat mengelola uang. Nah, kita butuh orang seperti itu. Inget ga tahun-tahun kemarin anggaran acara selalu defisit karena bendaharanya kelewat baik, tidak bisa nolak kalau disuruh mengeluarkan uang untuk anak-anak panitia. Banyak dana mubazir untuk makan-makan, jalan-jalan atau kaos panitialah. Nah, budaya seperti itu harus diberantas tuh!" ujar Pandu bak orator di depan demonstran. Icha cuma bisa manggut-manggut.

Mesti ngomong apalagi ya? Pandu keukeuh betul dengan pilihannya. Icha mendengus-dengus sambil kakinya menggosok-gosokkan ujung sepatu kets ke lantai.

Pandu merasa ada celah yang sedikit terbuka. "Icha, sebagai panitia, kita akan diuntungkan dengan keberadaan Farah. Dia kan alim banget, perwakilan Rohis di OSIS. Nah, citra panitia akan terangkat. Terbukti dong kalo acara perpisahan didukung semua pihak. Jadi tidak terkesan eksklusif."

Icha membenarkan ucapan Pandu, dalam hati. Tapi Farah jadi bendahara dan satu tim dengannya?

Oh, my God!

Farah mau ikutan sebagai panitia acara saja dia tak mengira sama sekali. Eeh, malah jadi bendahara. Itu kan posisi strategis banget!

"Memangnya apa sih keberatan lu sama Farah?"

Well, ini pertanyaan susah. Icha sendiri sebenarnya bingung, kenapa ia keberatan. Alasan SARA bahwa Farah orang Padang yang diidentikkan irit bahkan pelit? Itu pun sebenarnya pendapat Mama. Ya, that's it! Kayaknya keberatan Icha lebih karena solider dengan sikap Mama.

Icha ingat betul perkataan Mama, yang teramat sangat dihormati dan disayanginya selepas kematian Papa.

"Anisa, pokoknya kamu nggak boleh kawin sama orang Padang. Orang Padang itu pelit, medit. Contohnya tuh, Bu Anwar Chan, tetangga kita. Mentang-mentang dia yang menang arisan. Masak Mama pinjam sedikit aja buat nambahin koleksi anting Mama dia nggak kasih. Padahal Jeng Nani kan jarang-jarang nawarin barang bagus dengan harga murah di arisan!"

Saat itu mata Mama yang besar tampak nyaris meloncat keluar, ngeri Icha sebetulnya.

"Kamu tau apa alasannya? Katanya kalo Mama pinjam untuk yang lebih penting dia pasti pinjemin. Perhiasan apa tidak penting?! Sudah pelit sok ngajarin lagi! Nduk, kamu inget-inget ya pesan Mama tadi!"

Banyak lagi kabar miring tentang keluarga Chaniago yang dibawa Mama dari obrolan sesama ibu rumah tangga. Misalnya, tentang anak-anak Pak Anwar Chan yang dianggap tidak mau bergaul dengan tetangga maupun rumah makan Padang mereka yang digosipkan pakai jimat penglaris.

Di hadapan Mama, Icha cuma manggut-manggut. Tidak berusaha mengkritisi apalagi memperbaiki pandangan Mama.

Sejak keluarga Farah pindah ke rumah bertingkat dua di seberang rumahnya, mereka memang tidak akrab. Pagar pembatas memang hanya berupa jajaran besi setinggi 130-an centi, namun pagar di pikiran Icha jauh lebih tebal dan lebih tinggi lagi.

Di tempat lain.

"Mbok, aku pake jilbab ya!"

Bu Mar melotot menatap anak semata wayangnya. Bola matanya membesar luarbiasa. "Tidak. Tidak boleh!"

"Ah, Mbok. Boleh ya?"

"Tidak. Kok ndak ngerti juga kamu!"

Awan gelap menggelayut di wajah si anak. Ia tertunduk sedih. Lalu berkata, "Mbok, aku kan pingin banyak teman. Teman-temanku banyak yang pake jilbab. Lagian itu kan perintah Allah."

Bu Mar mendesah. Dadanya sesak bagai dihantam gada. "Ibu tahu pake jilbab itu perintah Allah. Ajaran agama. Tapi kamu tetap tidak boleh. Ora ilok!"

"Kenapa, Mbok?"

Tambah panjang Bu Mar mendengus. Matanya serasa hampir copot dari rongganya.

"Kenapa? Sis, kamu itu laki-laki, Nak! Wong lanang. Masak laki-laki pake jilbab! Edan!"

Wasis,  si abege belasan tahun itu, ngambeg. Ia beranjak pergi dengan langkah gemulai. Ia heran kenapa sih tidak ada yang bisa memahami dirinya, termasuk juga ibunya sendiri.

Di sebuah hotel melati.

Seorang pria muda menatap lembut gadis manis berambut panjang di depannya. Gadis belia itu tersipu malu.

Masih membekas hangat ciuman pertama dalam hidupnya yang baru berbilang belasan tahun. Dari seorang lelaki yang mencintainya, katanya. Pertemuan singkat di dunia maya sudahlah cukup baginya.

"Dik, buka dong..."

Hah? Begitu cepatkah? Si Manis menatap ragu.

Tapi si pria tampan menatap ke arahnya, serius. "Iya, buka, tolong ya...."

Dibukanya kemeja yang basah keringat, membelakangi Si Manis. Lantas rebahan di ranjang sambil membuka ponselnya.

Ooh, batin Si Manis, dia mau itu! Ya sudah, demi malam pertama!

Bergegas dibukanya kaus ketatnya, menampakkan gundukan sentosa.

Ini saja dulu, gumam si gadis. Jantungnya berdegup kencang. Adrenalinnya menggila.

"Bang, aku siap..."

"Ya udah, cepat buka jendela kamar itu. Gerah nih," kata si pria muda yang masih saja sibuk dengan ponselnya.

Si Manis terperangah, ia menoleh. Jendela kamar hotel non-AC itu memang tepat berada di belakangnya. Oh, shit!

Malam merangkak. Rasanya satu menit sekarang lebih dari seribu detik. Si Manis mendengus tak sabar. Berahinya kian bergejolak sejak awal mereka datang ke hotel itu dan ia minum larutan aneh dari Om Tampan.

Diambilnya selimut menyarungi tubuh sintalnya, ia mengantuk berat.

Entah berapa jam atau berapa menit kemudian, sebuah tangan berbulu lebat menjalar hangat di bahu telanjangnya. "Honey, maaf ya, kelamaan. I love you!"

"Meoong..."

Seekor anak kucing mungil mencari kehangatan induknya di tepi jalan seberang hotel.

Malam itu Si Manis dapat pelajaran pertama dari si pria muda yang katanya dokter itu. Tentang anatomi tubuh manusia dan alat reproduksinya.

Sayang Si Manis tak sadar ada kamera ponsel Om Tampan yang diam-diam merekam dahsyatnya badai renjana mereka malam itu.

Jakarta, 14 November 2020

Baca Juga: 

1. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fad26b7d541df7f07465e22/kenangan-hari-pertama-menjadi-ayah

2. https://www.kompasiana.com/nursalam-ar/5fad424f8ede4808c9681a32/tiga-jurus-menulis-dari-para-maestro

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun