Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bolehkah Tidak Menikah?

14 Oktober 2020   15:12 Diperbarui: 14 Oktober 2020   15:56 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan mempelai yang menikah/Sumber: pixabay.com

Bolehkah kita tidak menikah?

Sah-sah saja, karena itu hak pribadi. Lagipula menikah itu kebutuhan, bukan kewajiban.

Namun, jika alasan pertanyaan itu adalah karena ingin mengikuti jejak langkah seorang Rabi'ah Al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang tidak menikah seumur hidupnya, atau siapa pun tokoh panutan atau idola, tentu beda perkara.

Mengagumi seorang manusia idola atau panutan, tentu boleh-boleh saja. Akan tetapi, bagaimanapun, mereka tetap manusia biasa yang punya keterbatasan dan punya takaran untuk diikuti jejak langkahnya.

Kekaguman seorang kawan korespondensi terhadap sosok Rabi'ah rupanya berpengaruh besar pada dirinya. Hingga ia mengajukan pertanyaan demikian kepada saya sekian tahun lalu via surel (surat elektronik).

Sebagai "keranjang sampah" atau tempat curhat yang baik dan tepercaya, kurang lebih saya menjawab sebagai berikut kepada sang kawan yang masih betah membujang saat itu:

"Sahabat, sebagai Muslim, sembahan kita adalah Allah dan kita berpanutan kepada Nabi Muhammad SAW. Jika manusia lain yang dijadikan panutan (ulama sekalipun) akan banyak perdebatan yang timbul. 

Jika soal tidak menikah, Imam Ahmad bin Hambal dan Ibnu Taimiyah (sekadar menyebut beberapa ulama terkemuka) juga tidak sempat menikah. Bukan karena tidak mau, tetapi karena kesibukan berdakwah dan membela agama Islam saat itu. Imam Ahmad disibukkan dengan perdebatan soal apakah Qur'an itu "makhluk" atau tidak dengan kaum Mu'tazilah, dan Ibnu Taimiyah dengan perjuangan melawan penjajah Tartar.

Memang Rabi'ah Al-Adawiyah, wanita sufi dari Basrah (Irak) konon memutuskan untuk tidak menikah untuk semata-mata "bercinta" (baca: beribadah) dengan Allah. Dalam versi lain, konon beliau memang sudah tidak punya nafsu seksual, bi iznillah (dengan izin Alah atau Takdir Allah).

Saking cintanya kepada Allah, bahkan Rabi'ah bermunajat kepada Allah agar meminta tubuhnya kelak membesar memenuhi neraka sehingga tidak ada manusia yang masuk ke neraka, karena tidak ada tempat lagi di neraka. 

Soal timbangan pahala seseorang, wallahu a'lam bisshawwab. Hanya Allah yang mengetahui kadar takarannya. 

Sama halnya seperti seorang wanita pelacur yang justru dijamin masuk surga karena menolong mengambilkan air bagi anjing yang kehausan. Atau, dalam derajat yang sama, kisah seorang sufi yang di akhir hayatnya justru bermaksiat yakni berzina dan membunuh karena terlalu asyik-masyuk dan bangga dengan ibadahnya. Sekali lagi, wallahu a'lam. 

Namun, intinya, jika manusia yang dijadikan standar, maka akan sangat relatif. Karena terlalu banyak variabel. Dan banyak muncul kesimpangsiuran yang merongrong iman dan keyakinan seseorang.

Sebagai Muslim, mari kita berpegang pada standar yang sama, yakni Allah dan Rasulullah. 

Bukankah Nabi Muhammad SAW juga terluka ketika berperang, sholat dan menikah seperti manusia normal yang lain? 

Bahkan beliau melarang beberapa sahabatnya yang berniat berpuasa tanpa henti dan berniat tidak menikah seumur hidup. Andai Rabi'ah hidup pada zaman yang sama dengan nabi Muhammad niscaya Rabi'ah pun akan diperintahkannya untuk menikah.

Jadi, demi penghormatan kepada Rabi'ah dengan segenap jasanya, mari terima dan akui fakta riwayat hidupnya sebagai fakta historis dan bukan fakta ideologis apalagi teologis (tauhid) yang bersifat mengikat dan harus dipanuti. Ia manusia biasa, bukan Nabi Allah yang ma'shum (bebas dari dosa).

Sahabat, riwayat Rabi'ah Al-Adawiyah atau tokoh-tokoh lain yang tidak sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad bukanlah suatu pembenaran yang cerdas untuk takut menikah atau menghindari menikah."

Alhasil, soal ada jodoh atau tidak, itu urusan yang lain. Yang penting pancangkan niat terlebih dahulu untuk menikah. Seperti petuah sakti dalam The Secret karya Rhonda Byrne (2006) atau teori Mestakung (Semesta Mendukung) dari Prof. Yohanes Surya pada tahun yang sama, "Jika niat sudah dipancangkan maka semesta akan membantu."

Jika sudah bertekad maka bertawakkallah, kata Kanjeng Nabi Muhammad. Jangan sampai karena kelewat lama menjadi jomlo atau menjomlo kronis, membuat kita kalap atau bahkan putus asa, hingga berniat selibat, terkecuali jika diperbolehkan dalam agama yang diyakini.

Akhir kata, ada kutipan pepatah bahasa Jerman,"Wenn man will, sucht man wege. Wenn nicht will, sucht man gruende."

Jika orang punya kemauan, ia akan selalu cari jalan. Jika tidak punya kemauan, ia akan selalu mencari alasan.

Jakarta, 14 Oktober 2020

Baca Juga:

Curhat Itu Obat 

Dicintai Itu Obat Kuat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun