Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pitawat Menkeu, Ikat Pinggang Harus Kencang, dan Dada Harus Lapang

26 April 2020   15:51 Diperbarui: 26 April 2020   15:47 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Sri Mulyani/Sumber: Chandra Gian Asmara - CNBC Indonesia

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "pitawat" berarti "nasihat" atau petuah". Sementara dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Inggris yang disusun oleh Pusat Bahasa (Mizan, Bandung, 2009), "pitawat" adalah sinonim untuk "peringatan".

Dalam konteks ini, bolehlah disebut pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sepekan silam sebagaimana dikutip CNBC Indonesia pada Jumat, 17 April 2020, sebagai suatu pitawat. Kendati banyak media yang membahasakannya sebagai warning.

Sri Mulyani mengungkapkan kondisi perekonomian global di tengah pandemi COVID-19. Juga tentang pernyataan International Monetary Fund (IMF) bahwa dampak virus Corona (COVID-19) bisa menyebabkan terjadinya krisis sosial. Sejumlah lembaga keuangan dunia juga memprediksi akan terjadi kontraksi ekonomi global pada 2020.

Bahkan perekonomian Tiongkok atau China, sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama dunia, tumbuh negatif sebesar minus 6,8 persen per tahun pada kuartal pertama tahun 2020 berdasarkan laporan Biro Statistik Nasional China. Dan ini merupakan kontraksi pertama bagi China sejak negara tirai bambu tersebut mencatat pertumbuhan ekonomi secara Year on Year (YoY) pada 1992 atau 28 tahun silam.

"...Kalau ada guncangan (shock) yang jauh lebih besar, prediksi IMF ini kalau ada shock yang lebih, maka ekonomi Indonesia kemungkinan tahun ini negatif 0,5%. Ini skenario berat. Makanya tidak mungkin semua bisa dilakukan APBN sendiri."

"Dan kita semua harus bersiap-siap menghadapinya," ujar Sri Mulyani yang sempat beberapa kali didapuk sebagai salah satu menteri keuangan terbaik di dunia tersebut.

Pitawat Sri Mulyani memang sangat beralasan.

Diterbitkannya obligasi atau surat utang jumbo global Indonesia senilai 4,3 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau Rp112 triliun (kurs Rp16 ribu per dolar AS) dengan skema pelunasan 50 tahun baru-baru ini menandakan betapa kondisi perekonomian Indonesia tengah menghadapi masalah besar, dan tidak sedang baik-baik saja.

Di sisi lain, hal itu juga merupakan tugas Bank Indonesia (BI) yang salah satu tugas utamanya adalah menjaga stabilitas sistem keuangan, salah satunya dengan menjamin agar kebijakan makroprudensial aman terjaga.

Dalam kerangka kebijakan makroprudensial BI, kontraksi ekonomi global yang tentu berdampak pada kondisi ekonomi nasional itu masuk dalam tahap pemetaan dan pemantauan risiko. Selanjutnya, mulailah masuk tahap pemilihan instrumen kebijakan yang diperlukan beserta implementasinya. Sementara tahap terakhir adalah evaluasi atas pemilihan instrumen kebijakan serta implementasinya tersebut.

Di tingkat rumah tangga, bagi masyarakat Indonesia, secara sederhana, pitawat Menkeu Sri Mulyani sejatinya dapat dibaca sebagai berikut: "Ikat pinggang harus lebih kencang, dada harus lebih lapang." Artinya, kita harus lebih berhemat dan lebih lapang dada menyikapi kondisi yang ada.

Konsekuensinya, demi menjaga stabilitas sistem keuangan pribadi dan rumah tangga, kita harus cerdas berperilaku dalam ketidakpastian ini guna menata kekuatan finansial kita dan keluarga kita.

Terlebih lagi diprediksi pandemi COVID-19 ini dengan segala dampak sosial ekonominya masih akan berlangsung hingga pertengahan tahun 2020. Beberapa prediksi lain bahkan menyebutkan, hingga akhir 2020.

Apa pun itu, betul seperti kata Bu Menkeu, kita harus bersiap-siap, termasuk untuk worst case scenario atau skenario terburuk sekalipun.

Mengencangkan ikat pinggang

Kencangkan ikat pinggang!/Sumber: olddogthoughts.com
Kencangkan ikat pinggang!/Sumber: olddogthoughts.com

Di keluarga kecil saya sendiri, pengencangan ikat pinggang atau penghematan sendiri praktis sudah dimulai sejak pertengahan Maret 2020, sekitar sebulan terakhir, atau sejak masa Work From Home (WFH) dan School From Home (SFH).

Dengan diberlakukannya WFH di kantor saya sejak 16 April sampai 22 Mei mendatang, sebagai karyawan, ada fasilitas uang transportasi harian yang menghilang, tetapi potongan pajak penghasilan (PpH), BPJS, asuransi jiwa, dan tunjangan pensiun masih terus berjalan.

Sementara itu kebutuhan paket kuota data Internet juga meningkat, antara lain untuk keperluan kerja di rumah (untuk buka surel dan telekonferensi daring). Termasuk untuk keperluan SFH anak saya yang menggunakan fasilitas Zoom dan Google Duo untuk kelas online di sekolahnya.

Sementara pundi penghasilan dari pekerjaan sampingan saya sebagai penerjemah lepas (freelance translator) juga berkurang akibat melambannya aktivitas sektor ekonomi dunia belakangan ini akibat gempuran virus Korona.

Dalam sebulan terakhir saja, orderan terjemahan saya menyusut 50 persen. Kabarnya hal yang sama juga dialami rekan-rekan seprofesi.

Termasuk juga penghasilan dari side job lainnya sebagai ghostwriter dan pemilik kursus terjemahan hukum online. Pandemi ini memang bikin sepi kocek, membuat uang tak bersahabat dengan kantong.

Alhamdulillah, yang patut disyukuri adalah karena saya relatif beruntung karena masih menjadi pegawai pada sebuah kantor konsultan hukum dengan fasilitas gaji tetap bulanan. Bagi rekan-rekan full-time freelancer, perjuangannya jelas lebih berat lagi.

Gaji pokok bulanan pun masih saya dapat penuh seratus persen. Beberapa teman saya malah sudah dipotong gajinya sekian persen, dan terancam tidak dapat Tunjangan Hari Raya (THR) pada Idul Fitri pada bulan Mei mendatang.

Sebagian teman yang lain bahkan sudah dirumahkan atau menjalani skema Unpaid Leave (cuti tanpa tanggungan) dan tidak digaji selama dirumahkan kendati tidak diberhentikan. Ada juga yang telah diberhentikan dengan skema pesangon yang tidak sesuai atau bahkan tanpa pesangon.

Ini memang kondisi yang sulit. Di saat penghasilan berkurang, kebutuhan rumah tangga terus bertambah, terutama akibat lonjakan harga sembako yang gila-gilaan, khususnya jelang Ramadhan dan kemungkinan jelang Lebaran nanti.

Tampaknya krisis ekonomi, yang dulu akrab disebut "krismon", yang dulu pernah bangsa ini alami pada 1998, di ujung era kekuasaan Orde Baru, kembali berulang tiga puluh tahun kemudian, yakni pada 2020.

Bedanya, jika dulu saya masih seorang mahasiswa tingkat dua, kali ini posisi saya adalah sebagai kepala keluarga. Greater power, greater responsibility. Kekuasaan yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar.

Alhasil, sebagaimana yang dikatakan Charles Darwin, sang pemikir teori evolusi, bahwa yang bertahan bukanlah yang kuat, tetapi yang mampu beradaptasi, kami pun melakukan adaptasi atau penyesuaian atas kesulitan ekonomi yang ada.

Antara lain, pengiritan biaya belanja harian (kurangi lauk makan dan camilan), pemotongan biaya hiburan dan wisata, serta penghematan biaya utilitas (air, listrik, dan gas).

Untuk persiapan kondisi ke depan, terlebih lagi sebentar lagi masuk tahun ajaran baru, yang artinya perlu ada tambahan biaya sekolah anak, kami terpaksa menggadaikan beberapa emas batangan simpanan kami ke pegadaian negara untuk memperkuat ketahanan ekonomi keluarga.

Beruntunglah dulu kami masih sempat menabung emas sebagai simpanan atau alat lindung nilai ekonomis sebagai persiapan kondisi sulit seperti sekarang ini.

Dalam khazanah kelakar khas orang Betawi, emas yang digadaikan disebut disekolain.

 "Biar pinter nanti kalo udah disekolain," canda saya kepada istri saya.

Sebagai "menteri keuangan keluarga", istri memang harus bisa dihibur hatinya, terutama jika harus merelakan sebagian simpananannya untuk "diinapkan sementara".

Dan sebagai imam keluarga atau kepala rumah tangga, saya juga harus menyemangati istri dan anak saya dalam krisis saat ini. Bahwa kondisi ini hanya akan sementara saja, dan kita harus kuat bertahan dengan segala upaya kita. Toh, badai pasti berlalu.

Ini persis sebagaimana perkataan Napoleon Bonaparte bahwa the leader is the dealer of hope, pemimpin itu adalah penyalur harapan.

Mencari sumber pemasukan alternatif

Namun memang tak cukup hanya sekadar bertahan. Sebagaimana filosofi sepak bola, salah satu olahraga kegemaran saya selain catur, "serangan adalah pertahanan yang terbaik".

Jika kesulitan ekonomi adalah lawan tanding kita, maka selain berhemat, kita juga harus menyerang atau dapat dimaknai sebagai aktif melakukan pencarian sumber pemasukan alternatif. Cari uang tambahan, sederhananya.

Caranya, antara lain, dengan memaksimalkan potensi ekonomi dunia daring . Seperti berjualan buku dan busana muslim dan muslimah via marketplace (lokapasar), misalnya.

Termasuk juga lebih menyeriusi dunia online blogging. Blogging di beberapa platform pun saya jabanin dengan lebih serius. Kompasiana, salah satunya. Kendati K-Rewards Maret 2020 yang baru pertama kali saya dapatkan sebesar seperlima juta belum cair sampai saat ini. Setidaknya, cukup lumayanlah nominalnya untuk tambahan pemasukan.

Namun, yang terpenting dan untuk tujuan jangka panjang, blog Kompasiana, bagi saya, merupakan portofilo pribadi saya untuk pencapaian dan realisasi potensi lain ke depannya.

Di saat seperti ini, saya agak menyesal juga tidak serius menekuni dunia perinvestoran saham, kendati saya pernah mengikuti pelatihan singkat tentang investasi saham resmi yang diselenggarakan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dan juga berlangganan newsletter gratis dari beberapa komunitas investor saham.

Karena di saat krismon seperti sekarang ini, mengandalkan hasil imbal hasil (returns) investasi saham dari satu tempat saja, yakni sebuah bimbingan belajar, tidaklah cukup.

Untunglah saya masih punya bagian saham dari bisnis rumah kontrakan warisan almarhum ayah saya, yang cukup lumayan sebagai tambahan kocek keluarga.

Insya Allah, pandemi COVID-19 ini mengajarkan banyak hal, terutama pelajaran tentang pengaturan finansial dan ikhtiar bisnis. Terkadang kita baru sadar akan potensi dan peluang yang kita miliki setelah dihadapkan pada sebuah kesulitan besar. Orang bilang, the power of kepepet.

Melapangkan dada

Segenap ikhtiar duniawi memang perlu. Namun yang tak boleh dilewatkan adalah ikhtiar ukhrowi atau sebut saja "ikhtiar langit".

Saya percaya bahwa membina hubungan yang baik dengan Tuhan juga merupakan ikhtiar yang harus diupayakan dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi keluarga. Antara lain, dengan sabar dan tawakal.

Guru ngaji saya pernah berpesan, "Faiza azamta fatawakkal 'alallah". Jika kamu sudah bertekad atau berkomitmen, maka selanjutnya bertawakallah kepada Allah.

Termasuk juga bagian dari ikhtiar langit tersebut adalah melapangkan dada atas segala apa pun kesulitan yang menghimpit. Ikhlas, adalah istilah lainnya.

Sabar, syukur, tawakal, ikhlas, dan sedekah, adalah pranata "ikhtiar langit" yang dapat kita upayakan selain "ikhtiar bumi" seperti penghematan biaya dan pencarian sumber pemasukan lain.

Karena sesungguhnya Tuhan tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Artinya, kita dapat bertahan dan menaklukkan ujian yang datang sepanjang kita sabar serta berusaha lebih mendekat kepada-Nya.

Jika boleh menambahkan petuah Bu Menkeu, saya akan katakan bahwa ikat pinggang harus kencang, dada harus lapang, dan ibadah harus kencang juga.

Jakarta, 26 April 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun