Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makdikipe Korona!

27 Maret 2020   21:22 Diperbarui: 27 Maret 2020   22:22 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyemprotan disinfektan hasil swadaya warga/Sumber: Arsip Pribadi

Kondisi Corona hari ini atau penyebaran wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) di Indonesia yang pekan ini sudah tembus 1000 jiwa lebih yang terindikasi positif Korona dan hampir seratus orang meninggal dunia memang sudah teramat mengkhawatirkan.

Di Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia, patut diakui bahwa Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta di bawah komando Gubernur Doktor Anies Rasyid Baswedan telah banyak dan berikhtiar keras melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan pandemi COVID-19 di tingkat provinsi, seperti penyemprotan disinfektan di beberapa pasar di Jakarta dan jalan protokol.

Seperti, memberlakukan social distancing (pembatasan sosial) dan physical distancing (pembatasan jarak fisik); meliburkan sekolah dan lembaga pendidikan (School From Home/SFH), dan mengimbau perusahaan-perusahaan mengalihkan aktivitas karyawannya menjadi Kerja Di Rumah atau Work From Home (WFH) sejak 16 Maret sampai 5 April 2020, serta membatasi jam operasional tempat hiburan dan pusat perbelanjaan atau mall di Jakarta. 

Juga meniadakan kegiatan peribadatan berjamaah semua agama, termasuk sholat Jumat dan sholat lima waktu berjamaah di masjid dan musholla, di semua tempat ibadah, selama dua pekan sampai akhir Maret 2020.

Murid SD di Jakarta beraktivitas SFH/Sumber: Arsip Pribadi
Murid SD di Jakarta beraktivitas SFH/Sumber: Arsip Pribadi

Namun, dengan tingkat Case Fatality Rate (Angka Kegawatan Kasus) secara nasional yang mencapai delapan persen lebih, dan dengan status Jakarta sebagai daerah dengan angka positif Korona tertinggi di Indonesia, jelaslah Gubernur Anies Baswedan dan pemerintah provinsi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta tidak bisa ditinggalkan bekerja sendirian. 

Belum lagi dengan fakta persebaran ratusan orang di berbagai wilayah di Jakarta dengan status Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pemantauan (PDP), dan Suspect Corona. Makin jelaslah ini bukan lagi persoalan siapa presidennya atau siapa gubernurnya. Ini persoalan kita semua sebagai bangsa Indonesia.

Di Jakarta, kesadaran itu mulai tumbuh merekah.

Di berbagai kawasan di Jakarta, bermunculan gerakan swadaya warga Jakarta di berbagai wilayah yang melakukan upaya-upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan masing-masing. 

Termasuk di lingkungan tempat saya tinggal di kawasan Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang berbatasan langsung dengan Depok, Jawa Barat, yang merupakan tempat ditemukannya dua kasus positif COVID-19 pertama di Indonesia.

Terlebih lagi Jakarta Selatan menjadi sorotan nasional karena merupakan wilayah konsentrasi positif Korona tertinggi di Indonesia. Lebih spesifik lagi, Jagakarsa tergolong kawasan yang masuk Zona Merah (Red Zone) COVID-19 di Jakarta Selatan.

Zona Merah COVID-19 di Jakarta/Sumber: Arsip Pribadi
Zona Merah COVID-19 di Jakarta/Sumber: Arsip Pribadi

Alhasil, pada Rabu pagi, 25 Maret 2020, warga Kaveling 22 Jagakarsa secara mandiri dan gotong royong membuat dan melakukan penyemprotan disinfektan di sekitaran kaveling. 

Antara lain dipicu oleh berita yang beredar bahwa sudah ada warga gang sebelah perumahan kami yang terindikasi positif Korona dan beberapa orang yang masuk kategori ODP dan PDP.

Swadaya pembuatan disinfektan/Sumber: Arsip Pribadi
Swadaya pembuatan disinfektan/Sumber: Arsip Pribadi

Bermodal bahan pemutih merek tertentu dengan oplosan alkohol dan bahan campuran lain dan dengan takaran tertentu berdasarkan video tutorial dari Youtube, warga kaveling berinisiatif membuat disinfektan yang sesuai standar World Health Organization (WHO). 

Dananya ditanggung dari kas kaveling yang dipungut dari iuran bulanan warga kaveling. Selanjutnya dilakukan penyemprotan disinfektan di depan tiap rumah di kaveling yang terdiri dari 22 rumah tersebut.

Jika setiap lingkungan atau kompleks perumahan di Jakarta minimal melakukan tindakan serupa, Insya Allah, akselerasi penyebaran COVID-19 di ibu kota ini bisa ditekan.

Jika kita abai, barangkali estimasi terburuk yang disinyalir Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya (Pangdam Jaya) Margiyanto, yang sebelumnya juga diungkapkan Gubernur Anies Baswedan, bahwa kasus positif Korona di Jakarta dapat mencapai 8000 kasus tak mustahil terjadi. 

Jika angka positif Korona saja mencapai 8000 kasus, apatah lagi status ODP, PDP, dan Suspect, yang bisa jadi berlipat-lipat kalinya, atau mungkin menembus sejuta kasus di tengah populasi warga Jakarta yang sekitar 10 juta jiwa.

Itu memang estimasi yang mengerikan, yang tentu bisa berdampak besar pada roda perekonomian Jakarta yang juga barometer perekonomian nasional, yang dampak ekonomisnya akan jauh lebih besar daripada dampak akibat lockdown yang membuat pemerintahan Jokowi gamang memutuskannya.

Secara realistis, hal itu sangat mungkin terjadi. Terlebih mempertimbangkan kondisi riil sebagian warga Jakarta yang masih cuek atau santuy, dengan fenomena COVID-19 ini. 

Banyak yang masih mengabaikan aturan social distancing dan physical distancing, dengan tetap saja berkeliaran di luar rumah meskipun bukan untuk keperluan urgen atau darurat. Hanya nongkrong atau kongkow-kongkow di jalan, misalnya.

Belum lagi warga Jakarta yang, selama masa pandemi Korona ini, tetap nekat mudik ke kampung halamannya di luar Jakarta, yang tentu saja memperluas potensi perluasan COVID-19. 

Berita ledakan penderita positif Korona di Jawa Tengah akibat kedatangan ribuan pemudik dari Jakarta sudah menjadi bukti terang benderang bahwa ancaman bom waktu Korona itu ada dan nyata.

Sebagai Muslim, saya jelas heran dan kecewa pada sebagian pengurus takmir masjid, termasuk di dekat lingkungan saya di Jagakarsa, yang masih saja menyelenggarakan sholat Jumat meskipun sudah ada imbauan tegas dari Pemprov DKI dan MUI Jakarta untuk menunda aktivitas sholat Jumat di Jakarta hingga dua pekan lamanya, yakni sejak 16 Maret hingga akhir Maret 2020.

Imbauan itu tentu sangat berdasar dan sahih, karena merujuk pada Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan terkait pandemi COVID-19 yang tegas melarang penyelenggaraan aktivitas Jumatan di wilayah terdampak Korona seperti di Jakarta, karena berpotensi memperluas penyebaran COVID-19.

Jika pun jamaah Jumatan yang terpapar tidak terindikasi positif, mereka akan dapat menjadi perantara virus Korona (carrier) bagi keluarga atau lingkungannya. Jika saja kondisi anggota keluarganya atau tetangga di lingkungannya lemah karena imunitas yang rendah dan kemudian terpapar dan menderita Korona atau meninggal dunia, maka itu tergolong perbuatan zalim yang diganjar dosa besar, demikian menurut para ulama dan habaib.

Sebagai anak Betawi asli, saya juga heran terhadap warga Jakarta yang berlaku bagai para Covidiot atau kofidungu atau pandir korona (pankor). Terbetik pertanyaan di hati: Mereka itu sebenarnya beragama atau tidak?

Jika untuk pertama kalinya seluruh ulama panutan di Indonesia, termasuk di Jakarta dari berbagai spektrum keislaman Aswaja (Ahlus Sunnah Wal  Jamaah atau Sunni), seperti NU, Muhammadiyah, Aa Gym, Ustaz Abdul Somad, Ustaz Adi Hidayat, Ustaz Felix Siauw, kalangan Habaib termasuk Habib Rizieq Shihab sendiri, bisa bersepakat dengan pemerintah dan menyerukan untuk mematuhi Fatwa MUI tersebut, dan para pandir korona itu tak patuh juga, lantas mereka mau ikut ulama yang seperti apa? Mereka itu Muslim seperti apa sih?

Ingin rasanya saya menulis surat terbuka bagi warga Jakarta yang tinggal di kampung halaman tercinta saya ini dengan baris-baris kalimat seperti ini:

Wahai Warga Jakarta, tak perlulah kita menunggu pemerintah pusat memutuskan status lockdown (karantina wilayah) bagi ibu kota Jakarta yang merupakan kewenangan pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Drama "perebutan" wewenang penanganan penanggulangan pandemi COVID-19 di wilayah ibu kota Jakarta antara Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat tempo hari sudah menunjukkan bahwa perdebatan wacana lockdown atau penguncian sementara (kuncitara) hanya akan bernasib laksana perdebatan mencari ketiak ular.

Jika pun Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan (LBP), yang sudah menjadi rahasia umum, merupakan "orang kuat" sekaligus penasihat paling tepercaya Presiden Jokowi, baru-baru ini menyatakan mempertimbangkan wacana lockdown bagi Jakarta, yang berbeda dengan pernyataan Jokowi sebagai atasannya yang menepis rencana tersebut, mari kita, warga Jakarta, anggap saja omongan Opung Luhut itu sebagai hiburan pelipur lara. Permainan bad cop dan good cop semacam itu sudah lumrah adanya di kalangan politisi Indonesia.

Kendati lockdown lokal sudah dilakukan oleh Kalimantan Timur dan Tegal, Jawa Tengah (yang menurut Gubernur Ganjar Pranowo sekadar "isolasi kampung"), tak perlulah kita sebagai warga Jakarta berharap sejauh itu. Karena posisi kedua daerah itu jauh berbeda dengan ibu kota Jakarta yang jauh lebih strategis yang tentu punya nilai tawar ekonomis dan politis, yang rentan dipertarungkan oleh para politisi.

Kendati bayang-bayang kematian massal akibat COVID-19 terpampang nyata di depan mata kita yang bisa jadi memangsa kita atau keluarga kita, tak perlu juga kita, warga Jakarta, melakukan aksi serupa warga kota Yogyakarta yang melakukan "isolasi kampung" atau local lockdown dengan memblokade dusun atau perkampungan dari lalu-lintas orang masuk dan keluar. Suatu aksi kepedulian sosial yang terpuji yang ironisnya justru ditentang oleh para birokrat pemerintahan kotanya sendiri.

Sebagai warga kota pejuang sejak ratusan silam sejak era Jayakarta hingga Batavia, kita, warga Jakarta, adalah warga tangguh dan ulet yang sukses bertahan melalui berbagai periode rezim sejak masa kolonialis Belanda hingga rezim saat ini. Daya tahan kita telah teruji. Insya Allah, dengan niat baik serta ikhtiar tangguh dan kebersamaan yang solid, Tuhan akan melihat usaha kita dan mempertimbangkannya dalam kenaikan kelas kita dalam kerangka level ujian dari-Nya sebagai Yang Mahakuasa.

Jika warga Kota Wuhan, China, bisa bangkit setelah terpuruk berbulan-bulan dengan tetap menyemangati diri bersama-sama dengan seruan, "Wuhan, Jiayuo!", maka kita, warga, Jakarta, patut berdiri tegak seraya menyerukan, "Ayo, Jakarta, kamu bisa!"

Biar afdhol, mari kita lakukan ala Betawi punye gaye: Nyok pade bangun, dongakin ente punye kepale lantas teriakin rame-rame, "Makdikipe Korona, elu jual, gue beli!"

Jakarta, 27 Maret 2020

 Referensi

bisnis.tempo.co

cnbcindonesia.com

regional.kompas.com

jateng.suara.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun