Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Konsultan Partikelir

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Covidiot, Koronorak, Kofidungu, dan Pankor

24 Maret 2020   09:28 Diperbarui: 11 April 2020   07:27 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bulan Maret 2020, Urban Dictionary resmi merilis kata "Covidiot" yang definisinya "(relating to the 2020 COVID-19 virus) Someone who ignores the warnings regarding public health or safety. A person who hoards goods, denying them from their neighbors."

Istilah "Covidiot" ini yang merupakan gabungan dari "COVID-19" dan "Idiot" adalah untuk mendefinisikan (1) orang-orang yang mengabaikan seruan social distancing (pembatasan sosial), yang tetap berkeliaran di luar rumah selain untuk urusan darurat atau urgen; dan (2) para penimbun bapokting (bahan kebutuhan pokok dan barang penting) di saat panic buying (pembelian massal) selama mewabahnya virus Korona.

Terkait istilah tersebut, Ibnu Wahyudi, salah seorang dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (dahulu namanya Fakultas Sastra Universitas Indonesia), melalui akun Facebook, mengusulkan istilah pelokalan "Koronorak" (gabungan dari "Korona" dan "Norak") sebagai bentuk padanan untuk "Covidiot". 

Kalangan pemerhati dan praktisi bahasa, termasuk garda penerjemah, menyambut gembira bentuk padanan dalam bahasa Indonesia tersebut. Setidaknya terlihat dari banyaknya postingan sang dosen tersebut diagih atau dibagikan (share) di media sosial, hingga mampir di salah satu grup Whatsapp (WA) penerjemah yang saya ikuti.

Laboratorium Leksikologi dan Leksikografi FIB UI sendiri, dari postingan yang beredar media sosial, memperkenalkan istilah "kovidungu" untuk padanan "Covidiot".

Sebagai praktisi dan konsultan bahasa, saya punya beberapa catatan mengenai padanan-padanan istilah tersebut.

Pertama, istilah "Koronorak" yang merupakan gabungan dari "Korona" dan "Norak" dan juga "Kofidungu" menyalahi aturan pola kalimat Diterangkan-Menerangkan (DM) dalam struktur bahasa Indonesia, lebih cenderung mengekor pola Menerangkan-Diterangkan (MD) yang lazim dikenal dalam struktur bahasa Inggris. Jika taat pola, semestinya "Norakor" (Norak Korona) atau "Novikor" (Norak Virus Korona).

Kedua, istilah "Koronorak" tidak mewakili unsur ketegasan yang terkandung dalam istilah "Covidiot" yang justru terkesan sangat tegas dan keras. "Norak" dan "Idiot" punya makna dan laras (nada) yang jauh berbeda. Sementara "dungu" sendiri sudah pas dan tepat makna.

Dalam KBBI, "norak" didefinisikan sebagai "(1) merasa heran atau takjub melihat sesuatu; (2) sangat berlebih-lebihan; kurang serasi (tentang dandanan dan sebagainya); kampungan". Sementara "idiot" didefinisikan sebagai " (1) taraf (tingkat) kecerdasan berpikir yang sangat rendah (IQ kurang dari 20); daya pikir yang lemah sekali; tunagrahita".

Dalam versi bahasa Inggris sendiri, menurut Webster's American English Dictionary, "Idiot" adalah "mentally retarded or foolish person".

Ketiga, Dari perspektif lain, saya memahami maksud sang dosen tersebut. Sebagai bentuk pelokalan (localization) bahasa, tentu ada pertimbangan budaya selain niatan mengejar kesamaan bunyi awal antara "Covidiot" dan "Koronorak" atau "Kofidungu".

Antara lain, pertimbangan eufemisme bahasa yang lazim dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Semisal pencuri uang kelas kakap justru disebut "koruptor" alih-alih "pencuri", "maling atau "pencoleng". Contoh lain, "Pekerja Seks Komersial" (PSK) untuk menggantikan istilah "Wanita Tuna Susila" (WTS) atau Perek (Perempuan Eksperimen) (yang sebenarnya pada awalnya adalah eufemisme untuk "pelacur" atau "lonte").

Namun, terkait kian mewabahnya COVID-19 sementara sebagian masyarakat masih membandel untuk melakukan pembatasan sosial atau tinggal di rumah saja sesuai imbauan pemerintah, tidak perlu lagi eufemisme yang justru memperlemah semangat perlawanan bersama terhadap virus Korona.

Hemat saya, gunakan saja istilah yang sama kerasnya tetapi juga taat asas bahasa Indonesia untuk padanan "Covidiot". Misalnya, "Gokor" (Goblok Korona) atau "Begor" (Bebal atau Bego Korona). Namun untuk istilah terakhir ini, mungkin malah diasosiasikan dengan "bebek goreng", suatu menu kuliner yang lebih dahulu populer dengan akronim "begor".

Bisa juga gunakan istilah "Idiokor" (Idiot Korona) atau "Pankor" (Pandir Korona). Dalam KBBI, "pandir" adalah "bodoh; bebal". Kata "pandir" sendiri merangkum makna "bebal" yang berarti "sukar mengerti" dan "bodoh". Dari segi bunyi atau pelafalan pun mirip dengan "pansos" atau "panjat sosial" yang populer di kalangan generasi milenial. Alhasil, istilah ini akan lebih lekat dan lebih mudah diterima kalangan muda, yang sebagian dari mereka termasuk kalangan yang dapat dikategorikan sebagai "Covidiot".

Lantas apa pentingnya sih semua sebutan itu?

Pelabelan atau, dalam bahasa yang lebih keras, stigmatisasi itu penting berdasarkan konteksnya. Selain mengandung unsur "efek kejut" (shock therapy) yang menggugah kesadaran publik, juga berfungsi menyatukan solidaritas kelompok atau, dalam konteks COVID-19 ini, bangsa dalam satu nada dan bahasa yang sama. Singkatnya, memisahkan secara tegas antara siapa yang waras dan siapa yang bebal atau idiot dalam menyikapi pandemi COVID-19 ini.

Belajarlah dari sejarah. Rezim Orde Baru (Orba) di bawah pimpinan Jenderal Soeharto (1967-1998) adalah rezim pemerintahan yang secara sadar dan efektif memahami dan mempraktikkan politik bahasa ini.

Sewaktu Presiden Soekarno di era Orde Lama (Orla) menyebut gerakan kup dan pembunuhan 7 jenderal TNI-AD pada 1965 sebagai "Gestok" atau "Gerakan Satu Oktober" (merujuk pada waktu kejadian pada dini hari 1 Oktober 1965, jelang subuh), Orba melabelinya "Gestapu" atau Gerakan September Tiga Puluh. Tidak tepat secara kronologi waktu, namun ada kemiripan bunyi dengan Gestapo, nama pasukan rahasia NAZI di Jerman yang dikenal kesadisannya membantai lawan politik Hitler. Belakangan kemudian istilah tersebut bergeser menjadi G-30S-PKI, dan kemudian G-30S selepas Reformasi 1998 yang menumbangkan Soeharto.

Akhirul kalam, apa pun nanti pelabelan atau istilah padanan yang lebih berterima atau populer di kalangan masyarakat Indonesia untuk padanan "Covidiot", apakah "koronorak", "kofidungu" atau "pankor", yang jelas kalangan yang bebal atau idiot atau pandir dengan menolak pembatasan sosial atau melakukan penimbunan barang selama pandemi COVID-19 tetap harus dilabelkan atau distigmakan.

Ini jelas dan harus karena kebebalan atau egoisme mereka membahayakan publik atau kalangan yang lebih luas baik karena kelakuan penimbunan barang yang menyebabkan lonjakan harga maupun karena perilaku egois yang berpotensi terpapar sebagai pasien positif Korona atau carrier (pembawa dan perantara penyakit) virus Korona.

Jakarta, 24 Maret 2020

 

Referensi  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun