Mohon tunggu...
Nur Rahmawati
Nur Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Life Long Learning

Penikmat Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Generasi Z, Media Sosial, dan Ancaman Kesehatan Mental

10 Agustus 2023   16:48 Diperbarui: 10 Agustus 2023   16:53 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
by Tamara Winstead from Pexels

Banyak media merilis data bahwa jumlah generasi Z saat ini mendominasi populasi dunia. Di Indonesia sendiri, menurut data dari Badan Pusat Statistik populasi generasi Z sekitar 27,94 % dari jumlah penduduk Indonesia. Usia mereka diperkirakan antara 11 -- 27 tahun dengan rentang tahun lahir antara 1996 -- 2012. Hal ini berarti mereka tengah berada pada usia pelajar dan kelompok yang baru memasuki dunia kerja.

Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan USA. James Emery White dalam bukunya yang berjudul Meet Generation Z: Understanding and Reaching the New Post-Cristian World mencatat jumlah generasi Z paling banyak dibandingkan generasi lainnya. Populasi mereka mencapai 25,9 % dari jumlah penduduk USA. Fakta ini sekaligus menempatkan generasi Z sebagai populasi terbesar di USA.

Dengan populasi yang fantastis ini bukan tidak mungkin jika generasi Z digadang-gadang sebagai motor penggerak masyarakat di masa depan. Namun istimewanya adalah generasi Z terkesan cakap dalam menguasai teknologi digital yang menjadi identitas mereka, mereka lahir dan tumbuh di tengah perkembangan teknologi.

Realita tersebut menjadikan mereka lebih melek teknologi dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. Mereka dikenal memiliki jiwa kreatif yang tinggi, hitech, dan out of the box. Lebih dari itu, mereka selalu up to date terhadap berbagai isu yang tersebar di media-media, khususnya media sosial (medsos).

Akan tetapi relasi yang kompleks dengan medsos tersebut menimbulkan perasaan inferior dan gangguan kecemasan tersendiri bagi generasi Z. Hal ini selaras dengan pandangan yang mengatakan bahwa medsos bagaikan pedang bermata dua. Selain memberikan sejuta manfaat seperti kemudahan untuk berkomunikasi, namun dampak negatifnya pun sangat beragam.

Contoh yang sering terjadi diantaranya generasi Z cenderung membandingkan diri dengan orang lain serta takut ketinggalan isu-isu terkini alias fear of missing out (FOMO). Ingin terlihat sempurna dari segi fisik maupun prestasi, serta punya semangat untuk mencapai kesuksesan lebih cepat dalam bayang-bayang instanisasi menjadi kekhawatiran lain bagi mereka akibat terlalu dekat dengan medsos.

Generasi Z sangat menikmati kehidupan online tersebut sehingga mereka tidak segan menghabiskan banyak waktu untuk berhadapan dengan gawai. Mereka menjadi hiper kognitif dengan pengalaman virtualnya. Berbagai survei pernah menyoroti durasi waktu yang dihabiskan oleh generasi Z untuk beraktivitas secara online. Rata-rata, hampir dari 50 % generasi Z di Indonesia menghabiskan waktu antara 5 -- 10 jam perhari untuk menggunakan ponsel, secara khusus lebih sering membuka medsos.

Dari sini dapat dilihat betapa generasi Z sangat ketergantungan dengan kehidupan online meskipun yang mereka saksikan di dunia digital tidak selalu benar. Intensitas keaktifan generasi Z di medsos dapat memengaruhi kesehatan mental mereka. Hal ini ditunjukkan oleh laporan National Institute of Mental Health bahwa penggunaan medsos beresiko meningkatkan gangguan mental pada generasi Z.

Mayoritas generasi Z terpengaruh oleh kesempurnaan hidup yang ditampilkan oleh orang-orang di medsos. Mereka beranggapan bahwa medsos merupakan gambaran masa depan yang cemerlang. Potensi ancaman kesehatan mental makin meningkat karena munculnya ketidakpuasaan diri akibat gagal memenuhi standar medsos. Sehingga timbul ekspektasi yang berlebihan untuk mencapai keidealan hidup tanpa kerja keras yang maksimal. Kondisi ini berkorelasi dengan kebiasaan generasi Z yang senang rebahan dan hobi hangout.

Bahkan beberapa studi mengklaim generasi Z rentan mengalami depresi akibat terpapar medsos. Keadaan tersebut merupakan implikasi dari mental generasi Z yang dianggap paling lemah dan sensitif. Meski demikian, generasi Z menjadi lebih sadar akan kesehatan mental dengan tersedianya berbagai informasi yang bisa menghubungkan mereka dengan profesional untuk mendapatkan bantuan terkait masalah kesehatan mental.

Kini mereka menjadi lebih responsif jika mulai merasakan gejala-gejala yang mengancaman kesehatan mental, dan virtualisasi menjadi salah satu jembatan bagi mereka untuk memperoleh layanan konsultasi.[*]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun