Mohon tunggu...
Nisrina Haqque
Nisrina Haqque Mohon Tunggu... Pengajar dan pembelajar. -

Seorang pembaca dan pembelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Putri Malu

24 November 2017   21:28 Diperbarui: 24 November 2017   21:32 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Azan Subuh belum lagi berkumandang, ketika gadis itu merubuhkan diri dari tempat tidur dan berdebamlah kamar itu. Ia menyingkirkan ponsel canggihnya, karena saat ini, bukan barang itu yang pertama kali ia butuhkan. Ia segera memaksa tubuhnya berdiri di depan cermin besar di lemari pakaiannya---untuk meneliti bintik hitam di pipi kanannya. Raut wajahnya masih cemas. Semuanya didukung oleh rambutnya yang kusut dan pakaiannya yang super lecek.

"Bintik ini masih ada," ia bergumam, lebih pada menyesali keadaannya sendiri. "Kenapa tidak kunjung hilang?"

"Itu adalah hukuman," terdengar suara menyahut dari dalam kamar itu. "Karena wajahmu tidak pernah dirawat sepantasnya. Aku masih ingat, dulu kau rajin membersihkan wajahmu tiga kali sehari, tak pernah terlewat. Tapi sejak kau sering keluar dengan pemuda itu, kau biarkan saja wajahmu kehilangan cahayanya perlahan-lahan."

Gadis itu terdiam. Tidak menyadari kelalaiannya kini membuahkan lima bintik hitam kecil di pipi kanannya yang halus.

"Lho, kau sudah bangun ya."

"Tentu saja. Kau saja berisik begitu."


Gadis itu tidak mempedulikan dan melanjutkan pertanyaannya,"Bagaimana kalau tidak bisa hilang?"

"Bisa."

"Kalau tidak?"

"Kalau bercaknya tidak hilang tetapi ia hilang," suara temannya menyahut lagi. "Tinggalkan saja orang semacam itu."

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Dia bukan tipe orang yang semacam itu. Benar, ini pasti kesalahanku sendiri. Bintik ini harus hilang. Harus. Harus!"

Gadis itu bukan pesolek. Tapi ia tahu bagaimana caranya merawat diri sendiri dengan pantas. Tidak harus mahal, ia hanya memastikan penampilannya enak dilihat dari luar. Tak disangka, cinta datang menghampirinya di tengah-tengah itu. Kebiasaannya merawat diri hilang satu.

Tunggu. Ada yang salah di sini.

Seharusnya saat kau sedang jatuh cinta, kau akan memaksa dirimu untuk terlihat lebih cantik. Lebih menarik. Lebih mempesona, sehingga laki-laki yang berjalan di sebelahmu akan bangga melihat tatapan iri dari orang-orang yang melihat kalian. Tapi kau? Kau terlalu nyaman menjadi dirimu sendiri. Kau yang jarang mengenakan hiasan berlebihan, gaya pakaianmu dan agak kumal, juga raut wajahmu yang seperti orang judes. 

Tapi kau tahu bahwa hanya penampilan luarmu yang bisa dibilang mengkhawatirkan. Dari dalam, kau adalah orang yang baik. Laki-laki itu, ya, laki-laki itu, Alir, menerimamu apa adanya. Seperti namanya yang mengalir, begitu pula hubungan kalian. Terutama karena kalian berdua adalah orang-orang yang menemukan kecocokan di tengah jalan, di bagian seni lukis. Dan kau telanjur nyaman dengan semua itu sampai melupakan kondisi wajahmu sendiri.

"Baiklah, saatnya introspeksi," suara teman sekamarmu mengagetkanmu. "Kalau habis keluar malam, jangan lupa cuci muka, neng. Biar nggak jerawatan. Kayak aku. Hehehehehe."

Lalu kau mengangguk. Tersenyum. Mendengar kata malam, kau teringat malam-malam kalian yang panjang. Acara makan malam yang selalu menyenangkan di mana saja, lalu dilanjut obrolan yang tak kunjung habis, sembari menyantap setangkup roti bakar kacang cokelat atau dua cangkir kopi susu panas. Ketika sedang tidak ingin berbincang, kalian akan melukis di kanvas dalam keheningan. Bagaimanapun caranya, kalian sedapat mungkin ingin selalu bersama.

 Lalu perjalanan kalian di malam hari, detik-detik saat kau melingkarkan tanganmu di pinggangnya di atas motor, atau ketika kelopak-kelopak bunga mendadak berjatuhan saat lelaki itu menggenggam jemarimu saat kalian menyeberangi jalan. Kau begitu menyukai telapak tangannya yang besar dan sedikit kasar. Langkah-langkah kakinya yang panjang, bahunya yang tegap, dan senyumnya yang lebar saat menatap matamu.

Kau menyukai semuanya.

Kau mencintai lelaki itu.

Dan lelaki itu mencintaimu.

Kalian sempurna. Kalian serasi. Demikian bisik-bisik tetangga yang mengetahui hubungan kalian. Tak ada yang lebih membahagiakan ketimbang saat mengetahui bahwa orang yang kau cintai juga mencintaimu.

Kau perhatikan lagi bintik hitam di wajahmu yang lonjong. Bintik ini pasti akan hilang suatu saat nanti, pasti!

***

Persoalan bintik hitam segera menguap dari hidupmu karena saat ini wajahmu sudah kembali bersih seperti semula. Kau sangat bahagia, dan cerita-ceritamu tentangnya selalu mengalir setiap malam.

Tetapi kali ini ada suatu perasaan lain dalam dirimu. Sebuah getaran. Kau tahu bahwa kau tak biasa bersentuhan fisik dengan orang lain, terutama dengan lawan jenis. Tidak sebelum ini. Kau tidak menyukai acara cipika-cipiki sebagaimana perempuan lain, dan hanya menganggukkan kepala tanpa salaman bila bertemu lelaki. Lalu dengan mudahnya Alir membentukmu menjadi orang lain.

Semua berawal dari suatu malam di masa lalu. Malam itu hujan. Kau dan dia berteduh di sebuah warung yang sepi. Pemiliknya sedang pergi ke tempat lain ketika kau melihat lelaki itu benar-benar kedinginan. Jaketnya kuyup. Tiba-tiba saja, tangannya merengkuh pundakmu.

Lelaki itu memelukmu.

Begitu erat, seolah kau akan lari darinya jika ia melepaskanmu. Kau tertegun, kemudian kau juga balas merengkuhnya.

"Hei, ada apa?" tanyamu lirih.

Lelaki itu tak menjawab. Tangannya kini meraih jemarimu dan menggenggamnya erat.

Dan kau... kau menikmatinya.

Kau merasakan getaran yang luar biasa dahsyat. Rasanya begitu tenang, hangat, dan nyaman. Oh, seperti inikah cinta? Atau cinta dapat mengakibatkan persentuhan fisik antara kau dan dia dengan sebegitu luar biasanya?

"Sebentar lagi," bisik Alir. "Izinkan aku memelukmu sedikit lebih lama."

Kau tak menjawab. Meskipun dalam hatimu, kau ingin sekali lelaki itu tak pernah melepaskan pelukannya.

Kau ingin situasi itu berlangsung selamanya.

***

"Ri, pernahkah kau memeluk lelaki?" tanyamu pada Riana, teman sekamarmu. "Bagaimana rasanya? Maksudku, aku.. aku senang sekali saat Alir memelukku."

"Wuuu, so sweeeet," ledek Riana. "Pelukan itu kan lazim ketika pacaran. Bukankah kau merasa lebih aman dan nyaman bersamanya?"

Kau mengangguk. "Menyenangkan sekali. Rasanya aku tak ingin melepaskan dia lagi."

Riana membenarkan dengan mengacungkan jempol. "Jadi, kalian sudah sampai di sana?"

"Sampai mana?"

"Berpelukan, tentu saja," desis Riana tidak sabar. "Belum ke langkah selanjutnya?"

Kau bergidik. Apa ada yang lebih jauh dari itu?

"Kalau ada kesempatan," Riana berbisik penuh kehati-hatian, kendati dalam kamar kos yang sempit itu hanya ada kalian berdua. "Cium saja pipinya. Kemudian semua akan mengalir."

"Jangan gila," tukasmu. "Aku perempuan. Tak mungkin memulai duluan."

Riana menyeringai. "Ah, dasar pemula. Turuti saja kata-kataku. Kau pasti akan berbahagia dengannya. Hubungan tambah awet, dan kasih sayang tumbuh semakin dalam."

"Memangnya," bisikmu dengan rasa ingin tahu yang tinggi. "Hubunganmu dan Padi sudah sampai mana?"

Riana tersenyum. "Ingin tahu?"

Kau mengangguk cepat.

"Kapan-kapan saja kuberitahu," kata Riana puas. "Kau tak akan sanggup membayangkannya."

***

Kau tidak mengharapkan hal di luar genggaman tangan kalian dan pelukan yang mengerat ketika udara dingin menerpa. Itu sudah cukup. Sudah lebih dari cukup.

Tetapi tubuhmu berkata lain. Ia berontak, merasa haus luar biasa. Nafsu yang berlindung di dalam tubuh selama belasan tahun itu tiba-tiba menginginkan hal yang lebih. Menghirup aroma tubuhnya di balik kemeja hitam itu, melingkarkan tangan di lehernya, kemudian... ah, kau tak sanggup membayangkan kelanjutannya. Kau mendadak berubah seperti tanaman putri malu yang lunglai begitu terkena sentuhan. Tubuhmu lemas sekaligus membara setiap Alir menyentuh pipimu atau sekadar membelai kepalamu dengan sayang. Ada keinginan lebih menyeruak.

"Ada apa denganmu?" Alir bertanya lembut. "Kau baik-baik saja, kan?"

Napasmu berhembus keras. Terburu-buru, seolah ingin menghirup oksigen sebanyak mungkin. Alir mendekatkan tubuhnya.

"Aku tahu apa yang kau inginkan. Kemarilah..."

Jemarimu meraih jemari lelaki itu pelan. Awan hitam masih berderak di langit, kemudian petir menyambar. Kau terlonjak, memeluk lelaki itu erat.

Apa yang salah dariku? Teriakan itu bergema dalam pendengaranmu secara tiba-tiba. Kau seenaknya saja pergi dengan wanita lain! Pikirkan perasaanku!

Maafkan aku...

Yang kaucari adalah wanita rendahan ini? Apa yang kaucari? Tubuhnya, bukan? Dasar brengsek!

Memori itu berulang kembali. Suara perempuan itu kembali menyayat telingamu. Suara yang kau hapal setelah belasan tahun kalian bersahabat. Lelaki itu mengacaukan segalanya. Ia lari padamu setelah merenggut mahkota sahabatmu sendiri. Sahabatmu itu tega saja mengumpatmu dengan sebutan yang tak layak disandang seorang sahabat.

 Lambat laun, ucapan itu benar-benar mengoyak hatimu, merusak alam bawah sadarmu. Bukankah itu yang menyebabkan kau begitu takut pada lelaki? Lalu, apa bedanya? Bukankah Alir juga lelaki?

Yang kaucari hanya tubuhnya, bukan?

Kau tersentak. Melepaskan pelukanmu. Alir terkejut, berbisik lirih,"Ada apa?"

Kau menggeleng keras. "Maafkan aku. Mulai saat ini, jangan temui aku lagi. Sampai jumpa."

Kau berbalik, berlari sambil mengisak. Air matamu turun serentak bersama deraian hujan. Pada akhirnya semua laki-laki sama saja. Kau selalu tahu apa yang mereka inginkan. Dan bukan tak mungkin ia akan pergi setelah merampas semua yang ada padamu. Alir adalah buaya dan serigala sekaligus, tak mungkin ia berbeda. Kau tidak ingin menjadi korban selanjutnya, apalagi mendapat makian yang sama...

Nafsumu menggelegak, masih tidak terima dengan jalan pikiranmu. Tetapi angin menyejukkan bara dalam tubuhmu. Hatimu berbisik, untuk bersabar sedikit lagi. Lelaki tepat itu akan datang pada suatu hari baik nanti.

Yang tentu saja tidak hanya menginginkan tubuhmu....

Yang tentu saja, tidak akan menyeretmu ke dalam lembah bahaya....

Yang tentu saja ada, kau bersabar saja.

Semarang, 28 Oktober 2016. 7:16 WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun