Mohon tunggu...
Nur maladewi
Nur maladewi Mohon Tunggu... Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menjaga Hak Pekerja: Mengupas Perlindungan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia

12 Agustus 2025   13:00 Diperbarui: 28 Agustus 2025   20:13 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber : iStock )

adapaun artikel tersebu ditulis oleh:

1. Nur mala dewi lestari/30302300001 (selaku Mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA)

2. ⁠Dr.Ira alia maerani,S.H.,M.H. (selaku dosen Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum UNISSULA)

Hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah salah satu pilar penting dalam roda perekonomian sebuah negara. Pekerja menyediakan tenaga, waktu, dan keterampilan untuk menggerakkan industri, sementara pengusaha menyediakan modal, fasilitas, dan kesempatan kerja. Namun, hubungan ini tidak selalu berjalan harmonis. Dalam praktiknya, sering muncul masalah seperti diskriminasi kerja, pembayaran upah di bawah standar, pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, dan kelalaian terhadap keselamatan kerja. Untuk mencegah ketidakadilan tersebut, Indonesia memiliki perangkat hukum ketenagakerjaan yang mengatur secara rinci hak dan kewajiban kedua belah pihak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjadi salah satu regulasi utama yang mengatur hubungan ini, dilengkapi peraturan turunan yang memastikan perlindungan nyata bagi pekerja. Dalam tulisan ini, kita akan menyoroti dua aspek penting perlindungan ketenagakerjaan yang menjadi kunci terciptanya hubungan industrial yang sehat.

Perlindungan Hak dan Kesetaraan di Tempat Kerja

Salah satu prinsip mendasar dalam hukum ketenagakerjaan adalah jaminan kesetaraan bagi semua pekerja. Pasal 5 UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan bahwa setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 6 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua pekerja tanpa memandang suku, agama, ras, jenis kelamin, atau latar belakang sosial. Ketentuan ini memiliki makna yang sangat penting, karena di dunia kerja modern, diskriminasi dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari proses rekrutmen, penentuan gaji, hingga peluang promosi jabatan.

Dalam praktiknya, prinsip kesetaraan ini tidak hanya berarti memberikan kesempatan yang sama saat perekrutan, tetapi juga memastikan bahwa pekerja yang sudah ada mendapatkan hak-hak yang setara. Misalnya, dua pekerja dengan posisi dan tanggung jawab yang sama harus menerima upah yang setara tanpa membedakan gender atau latar belakang. Di beberapa perusahaan, pelaksanaan prinsip ini diwujudkan melalui kebijakan rekrutmen berbasis merit system, di mana penilaian hanya didasarkan pada kompetensi dan kinerja. Pelanggaran terhadap pasal ini tidak hanya dapat memicu gugatan hukum, tetapi juga merusak citra perusahaan di mata publik. Oleh karena itu, penerapan pasal 5 dan 6 bukan sekadar kewajiban hukum, melainkan juga strategi bisnis yang cerdas.

Jaminan Upah Layak dan Perlindungan dari PHK Sepihak

Hak atas penghasilan yang layak merupakan salah satu pilar utama perlindungan pekerja. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan layak bagi kemanusiaan. Standar kelayakan ini diukur berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang setiap tahun ditetapkan pemerintah daerah dengan mempertimbangkan inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kondisi sosial masyarakat. Selanjutnya, Pasal 90 mempertegas larangan membayar upah di bawah upah minimum, dengan ancaman sanksi tegas bagi pengusaha yang melanggarnya. Ketentuan ini penting karena upah merupakan sumber utama pemenuhan kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya.Prinsip ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan keadilan dalam memberikan hak kepada setiap orang.

Allah SWT berfirman:

وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّاكُم بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

(QS. Al-An’am: 152)

Ayat ini menegaskan bahwa pemenuhan hak, termasuk hak upah pekerja, bukan hanya kewajiban hukum tetapi juga perintah moral dan spiritual yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Selain jaminan upah, perlindungan pekerja juga mencakup pengaturan tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pasal 151 UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PHK harus dihindari sebisa mungkin dan hanya boleh dilakukan jika semua upaya lain tidak berhasil. Jika PHK tetap dilakukan, Pasal 156 mengatur hak pekerja untuk memperoleh pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sesuai ketentuan. Aturan ini bertujuan untuk memastikan pekerja yang kehilangan pekerjaan tidak langsung terjerumus dalam kesulitan ekonomi.

Dalam praktiknya, sengketa terkait PHK sering kali berujung di Pengadilan Hubungan Industrial. Keberadaan ketentuan hukum ini membuktikan bahwa perlindungan tenaga kerja di Indonesia tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi menjadi tameng nyata bagi pekerja dalam menghadapi ketidakadilan.

Ilustrasi (Sumber. Hukumonline)
Ilustrasi (Sumber. Hukumonline)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun