Isu lingkungan hidup bukan lagi sekadar wacana akademik atau diskursus elitis yang hanya diperbincangkan di ruang-ruang konferensi. Ia telah menjadi persoalan nyata yang hadir di tengah kehidupan masyarakat, bahkan hingga ke pelosok desa. Dari pencemaran air akibat limbah rumah tangga, penggunaan produk kimia yang tak terkendali, hingga minimnya kesadaran dalam mengelola sampah secara bijak---semua menjadi tantangan yang membutuhkan solusi nyata dan kolaboratif.
Di tengah kompleksitas itu, mahasiswa sebagai bagian dari elemen intelektual bangsa memiliki tanggung jawab moral untuk tidak sekadar menjadi pengamat, melainkan pelaku perubahan. Hal inilah yang coba diaktualisasikan oleh mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) dari Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya di Desa [Nama Desa], melalui program pemberdayaan masyarakat berbasis inovasi produk ramah lingkungan.
Program kerja yang diusung bukanlah sesuatu yang rumit, melainkan berangkat dari kebutuhan dasar masyarakat sekaligus menjawab tantangan ekologis yang mereka hadapi. Tiga fokus utama yang dikembangkan adalah pembuatan lilin aromaterapi berbahan minyak jelantah, sabun batang alami bebas bahan kimia sintetis, dan pupuk organik cair (POC) yang diolah dari limbah dapur serta mikroorganisme lokal.
Lilin aromaterapi yang dihasilkan bukan sekadar alat penerangan atau pengharum ruangan. Lebih dari itu, ia menjadi simbol transformasi limbah menjadi produk bernilai. Minyak goreng bekas yang selama ini dibuang ke saluran air dan berpotensi mencemari lingkungan kini diolah dengan teknik sederhana menjadi lilin yang memiliki manfaat ganda: menenangkan, menyegarkan, dan menstimulasi relaksasi. Pewangi alami seperti serai wangi, kayu manis, dan lavender lokal digunakan untuk memperkaya nilai guna lilin ini, sekaligus memperkenalkan masyarakat pada potensi tumbuhan sekitar yang selama ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Di sisi lain, sabun batang alami menjadi jawaban atas kebutuhan akan produk kebersihan yang aman bagi kulit dan ramah bagi lingkungan. Proses pembuatannya melibatkan bahan-bahan yang mudah didapat, seperti minyak nabati, soda api yang telah dinetralkan, serta ekstrak tumbuhan lokal seperti daun sirih atau kunyit. Selain membangun kesadaran akan pentingnya memilih produk perawatan diri yang sehat, produksi sabun ini juga menjadi bentuk nyata dari semangat kemandirian. Warga tidak hanya belajar cara membuat sabun, tetapi juga diajak memahami proses bisnis sederhana agar produk ini dapat dikembangkan menjadi peluang ekonomi baru di tingkat rumah tangga.
Pupuk organik cair (POC) melengkapi upaya ini sebagai solusi konkret terhadap persoalan pertanian desa yang masih bergantung pada pupuk kimia. POC yang dihasilkan berasal dari fermentasi limbah dapur dan dedaunan menggunakan mikroorganisme lokal. Dengan bahan baku yang sangat mudah diakses dan proses produksi yang sederhana, masyarakat diajak untuk mengelola sampah organik menjadi sumber daya produktif yang meningkatkan kesuburan tanah tanpa merusak struktur ekologisnya. Hasilnya, lahan pertanian menjadi lebih sehat, tanaman lebih kuat, dan biaya produksi bisa ditekan secara signifikan.
Lebih dari sekadar transfer teknologi, seluruh proses ini dilandasi pendekatan partisipatif. Mahasiswa tidak datang sebagai instruktur, tetapi sebagai mitra belajar. Pelatihan dan praktik dilakukan bersama, dengan metode yang mudah dipahami dan bisa diterapkan ulang secara mandiri. Bahkan, dalam beberapa kasus, warga mulai menunjukkan inisiatif untuk mengembangkan sendiri variasi aroma lilin atau bentuk sabun yang lebih menarik.
Dampak dari program ini tidak hanya dirasakan dalam bentuk produk. Lebih penting dari itu adalah perubahan cara pandang masyarakat terhadap lingkungan sekitar. Mereka mulai menyadari bahwa limbah bukan sesuatu yang harus dibuang, tetapi bisa menjadi berkah jika dikelola dengan benar. Mereka pun melihat bahwa menjaga lingkungan tidak harus dengan cara besar dan mahal, melainkan cukup dengan konsistensi dan kemauan untuk berubah.