A. Problematika dalam Penegakan Hukum di Indonesia
1. Korupsi dan Integritas Aparat Penegak Hukum
Salah satu hambatan utama dalam penegakan hukum di Indonesia adalah tingkat korupsi yang tinggi di kalangan aparat penegak hukum. Praktik-praktik seperti suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan jabatan masih sering dijumpai dalam institusi-institusi vital seperti Kepolisian, Kejaksaan, hingga Lembaga Peradilan. Kondisi ini mencerminkan lemahnya integritas personal maupun kelembagaan dalam menegakkan supremasi hukum. Menurut ("Transparency International Indonesia.," 2023), Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia berada pada posisi yang masih mengkhawatirkan, menandakan bahwa masyarakat memandang korupsi sebagai masalah sistemik yang belum tertangani dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga hukum belum sepenuhnya dipercaya oleh publik dalam menjalankan fungsinya secara adil dan bebas dari intervensi kepentingan. Korupsi yang terjadi di lingkungan aparat penegak hukum tidak hanya merusak kepercayaan masyarakat, tetapi juga berakibat pada distorsi terhadap keadilan hukum. Proses hukum menjadi tidak transparan, timpang, dan rawan dimanipulasi, yang pada akhirnya merugikan pencari keadilan dan memperlebar kesenjangan sosial.
2. Independensi Lembaga Peradilan
Prinsip independensi hakim dan lembaga peradilan merupakan prasyarat mutlak bagi terwujudnya putusan yang imparsial dan adil. Namun, kekhawatiran mengenai potensi intervensi dari cabang kekuasaan lain, khususnya eksekutif, atau kekuatan politik tertentu, seringkali mengemuka. Peran Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Agung (MA) dalam menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta kemandirian peradilan perlu diperkuat secara berkelanjutan guna memastikan bahwa hakim dapat memutus perkara tanpa tekanan atau kepentingan eksternal.
3. Kapasitas dan Profesionalisme Sumber Daya Manusia
Upaya reformasi birokrasi di tubuh institusi penegak hukum seperti POLRI, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih terus berproses. Tantangan substansial mencakup peningkatan profesionalisme, integritas, dan kapasitas sumber daya manusia. Kualitas penyidik, jaksa, dan hakim membutuhkan peningkatan berkelanjutan melalui program pendidikan dan pelatihan yang komprehensif, serta implementasi sistem promosi yang berbasis pada meritokrasi
4. Inkonsistensi Penegakan Hukum
Prinsip kesetaraan di hadapan hukum ( equality before the law ) seringkali dipertanyakan dalam praktik penegakan hukum. Adanya persepsi di masyarakat bahwa penegakan hukum cenderung bersifat selektif "tajam ke bawah" (terhadap masyarakat kecil) namun "tumpul ke atas" (terhadap kelompok elit atau berkuasa) menciptakan ketidakpercayaan dan sinisme publik terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Inkonsistensi ini undermines legitimasi hukum.
5. Kerangka Regulasi dan Tumpang Tindih Kewenangan
Beberapa regulasi hukum masih mengandung celah atau multitafsir, yang berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Selain itu, tumpang tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum terkadang menjadi kendala dalam koordinasi dan efektivitas penanganan kasus. Diperlukan harmonisasi regulasi dan demarkasi yang jelas mengenai batas kewenangan antarlembaga untuk menciptakan sistem yang lebih efisien.