Mohon tunggu...
Nurkholis Ghufron
Nurkholis Ghufron Mohon Tunggu... wiraswasta -

Alumni MI Darussalam Padar, Mts Darussalam Ngoro, Darussalam Gontor 94, berwirausaha, Suka IT...To declare does'nt mean to be Proud of. It rather than to be thankful to teachers and carefully behaviour...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merevitalisasi Pragmatisme KH. Idham Chalid dalam Era Isu Terorisme

13 September 2015   21:59 Diperbarui: 13 September 2015   21:59 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak perang terhadap terorisme yang diusung oleh Amerika dan sekutunya membakar dunia Islam yang pada awalnya berdalih mengejar pelaku pemboman WTC kembar di Newyork. Segala upaya dan daya dilakukan oleh Paman Sam untuk melampiaskan dendam pemboman WTC ini di negara negara Islam walapun lokasi persembuyian Osama Bin Laden yang dulunya adalah didikan dari Amerika ini berada di Afghanistan .

Iraqpun menjadi sasaran kemarahan Amerika dan sekutunya sehingga Saddam Husein berhasil di eksekusi oleh pasukan aliansi pimpinan Amerika.

Sentimen perang terhadap terorisme yang diusung oleh Amerika dan aliansinya meluas di hampir seluruh negara Islam termasuk Indonesia sendiri setelah “munculnya” momen pengeboman di Bali dan beberapa tempat strategis di Indonesia.[12] Menyusul ancaman terhadap gereja gereja saat Natal memberikan kredit bagi Banser untuk memposisikan statusnya terhadap pemerintah dengan memberikan pengamanan yang luar biasa pada tempat ibadah ummat Kristiani ini. Momen yang tepat untuk memulai babak baru “pragmatisme” pasca KH. Idham Chalid.

Dalam beberapa momen, PBNU KH.Said Aqil Siradj[13] menegaskan bahwa terorisme ber-embrio dari orang yang mempunyai ciri ciri pribadi seperti ibnu Muljam[14] . Ibnu Muljam, adalah seorang yang alim, taat beribadah, taat puasa, ahli tahajjud dan ahli Al Quran namun membunuh Khalifah Khulafaurrasyidin yang ke empat Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu. Kasus terorisme yang bersifat negara yang majmuk dari berbagai latar agama, Suku dan golongan atau plural dengan simpel direfleksikan kepada sosok Ibnu Muljam yang Muslim, taat beribadah, tekun puasa di siang hari dan tahajjud di malam hari, ahli Al Quran dan Masjid di sini saja telah terjadi Inkonsistensi karna ini adalah “sebab yang khusus” tidak bisa dijadikan “allafdhu al Ammu”. Terminologi terorisme ala ibnu Muljam ini perlu dikritisi setidaknya dengan empat prinsip Rasulullah yagn direkomendasikan NU kepada negara dalam hubungannya dengan rakyatnya:[15]

  1. Assyuuro atau musyawarah. Untuk mengeluarkan statemen yang sedemikian penting ini apakah sudah melibatkan semua fihak di internal NU ataupun di luar untuk sampai kesimpulan Ibnu Muljam ini baik dengan sistem langsung maupun keterwakilan.
  2. Al Musaawat atau equality ; Apakah definisi terorisme ala ibnu Muljam ini tidak mencederai pandangan bahwa setiap orang mempunyi hak kedudukan yang sama tanpa adanya diskriminasi karena ras, agama, jenis kelamin, kedudukan , kelas sosial dll?
  3. Al Adaalah/justice: Apakah definisi terorisme ala ibnu Muljam ini tidak menyelisihi penetapan suatu keputusan yang berupa hukum, peraturan dan kebijakan sesuai dengan hakikan kebenaran objektif tanpa didasari pandangan subjektif dan tidak bertentangan dengan “Al Mabaadiul AlKhomsah “ Pancasila???
  4. Al Khurriyah (freedom/kebebasan); apakah definisi terorisme ala Ibnu Muljam ini tidak mencurangi jaminan bagi setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya dengan cara baik , bertanggung jawab dan berakhlaqul kariimah??

Tersisa tanda tanya cukup besar juga kenapa memilih sampel “Ibnu Muljam” ansich?. Kenapa tidak juga mengangkat “Abu Lu’lu”[16] yang membunuh Khalifah Umar Bin Khottob? Apakah karna Abu Lu’lu’ pahlawan bagi Syiah sehingga tak dijadikan contoh?. Apakah karna Ibnu Muljam Membunuh Ali.Ra lantas kita meminta darah dari kaum Muslimin karna kesalahan Ibnu Muljam??. Sungguh kita harus bertanya kenapa sampel Ibnu Muljam saja dan tidak Abu Lu’luk yang Non Muslim dan Zindiq. Bagaimana jika yang membunuh Ali Ra adalah Abu Lu’lu yang Non Muslim? Maka bagaimana nantinya bunyi terminologi ala Abu Lu’lu?

Tambahan dari pada itu , peristiwa pembunuhan ini adalah 1400-an tahun yang lalu artinya jauh sebelum isu terorisme modern yang dihembuskan oleh Amerika dan sekutunya kepada dunia Islam. Maka tidak lah relevan jika kejadian yang bersifat “khusushy Araby” untuk dijadikan dasar kejadian yang bersifat “Umumy Alamy al Asry” dalam kontek terorisme ini. Motif pemilihan sampel Ibnu Muljam an sich[17] dari Abu Lu’lu menguak siapa sebenarnya yang mengusungnya.

Terminologi terorisme ala “Ibnu Muljam” dari PBNU KH. Said Aqil Siradj ini didengarkan dengan baik oleh negara atau negara telah menerima sebagai fatwa sebagaimana fatwa bughot di zaman kepemimpnan KH. Idham Chalid terhadap para pemberontak di zaman Sukarno dan PKI yang saya sebutkan di atas sehingga negara tanpa ragu membentuk detasemen khusus “densus 88” yang punya kewenangan untuk menggunakan kekuatan senjata ataupun kekerasan dalam menumpas pelaku teror dengan parameter “Ibnu Muljam” . “presumtion of innocent “[18] , dilangkahi oleh Densus 88 yang bertindak sebagai proxy negara dalam memberantas terorisme.

Pelaku teror meski dengan tingkat terorisme yang lebih merusak sekalipun dan korban jiwa lebih banyak sekalipun jikalau tak memenuhi syarat “ Ibnu Muljam” yang : Islam, alim, taat beribadah, ahli Alquran dan masjid maka tak ada Densus 88 yang dideploitasi. Efek lebih jauh, media pun “ketakutan” menggunakan kata “teroris” dan memilih kata semacam rusuh, kerusuhan dan pelaku kerusuhan bagi pelakunya untuk menghindari ancaman golongan tertentu.

Akar dari kenapa pelaku teror dari Non Muslim “tak terbaca“ oleh Densus 88 sebagai proxy[19] negara dalam memberantas terorisme adalah berawal dari adopsi membabi buta terminologi terorisme ala “Ibnu Muljam”. Berbeda dengan fatwa ” bughot” NU di masa KH. Idham Chalid dengan semangat kebangsaan dan semangat mempertahankan Pancasila yang tak membedakan Ras,agama dan golongan terhadap para pelaku pemberontakan dari DI /TII yang muslim, RMS Ambon yang mayoritas Kristen, dan terfenomenal adalah PkI yang di dalamnya ada Muslim dan Non Muslim meski mengaku Ateis.

Menguji dua pragmatisme di atas dengan nilai nilai ASWAJA ahlussunnah wal jamaah [20]yang dapat saya jelaskan sebagai berikut:

  1. Tawassut dan i’tidal: “yakni suatu sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah kehidupan bersama.

NU dengan sikap dasar ini seharusnya bisa menjadi tauladan dan paNUtan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf atau ekstrim baik kiri maupun kanan.”[21]

  • Pragmatisme KH. Idham Chalid: dalam kenyataannya seluruh warga negara terhadap pancasila adalah sama jika memberontak dan tidak mengakui Pancasila akan berhadapan dengan TNI sebagai proxy negara. “Bughot[22] tidak hanya disematkan pada Muslim saja tapi juga Non Muslim yang meliputi Kristen dan Atheis, kita semua bisa membuka lembaran sejarah bagaimana Pemerintah menumpas DI/TII yang Muslim juga bagaimana pemerintah menumpas RMS dan terakhir bagaimana TNI bersama Banser sebagai proxy NU menumpas PKI. Sekaligus sikap ini juga berarti tidak tathorruf kanan atau terlalu mesra dengan kekuasaan dan tidak juga NU mengikuti Masyumi yang ingin formalisasi Islam yang berarti ekstrim kiri.
  • Pragmatisme pasca KH. Idham Chalid: kita semua tahu dengan terang benderang dengan parameter “Ibnu Muljam” , hanya orang yang memenuhi syarat terminologi ‘Ibnu Muljam’ yang akan diidentifikasi sebagai pelaku teror dalam aksi terorisme. Densus 88 tak akan dapat mengidentifikasi kasus terorisme dari Non Muslim sebagaimana Iedul Fitri Ambon [23]dan Idul FitriTolikara yang dengan lebih jelas di depan mata peristiwa terorisme terjadi namun hanya disebut kerusuhan dan pelakunya disebut pelaku kerusuhan. Jadi terminologi terorisme “Ibnu Muljam” atau yang sejenisnya sangat tidak selaras dengan sikap tawassut dan i’tidal karna berdiri dengan tidak adil kepada seluruh warga negara .
  1. Sikap Tasaamuh: “yakni sikap toleran dan menghargai terhadap perbedaan pandang baik dalam masalah keagamaan terutama dalam hal hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiah serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.”[24]
  • Pragmatisme KH. Idham Chalid: Ketika KH. Idham Chalid dan Buya Hamka[25] dalam perjalanan menjalankan ibadah haji dengan menggunakan kapal laut, KH. Idham Chalid menjadi imam sholat shubuh dan Buya Hamka menjadi salah satu makmumnya. KH. Idham Chalid tidak berqunut shubuh sehingga para makmum menjadi heran karnanya. Dalam kesempatan yang lain di tempat yang sama Buya Hamka juga melakukan hal yang sebaliknya yakni mengimami sholat Shubuh dengan berqunut ketika salah satu makmumnya adalah KH. Idham Chalid. Ini adalah teladan langsung tentang tasaamuh dalam hal furu’.[26]
  • Pragmatisme pasca KH. Idham Chalid: NU justru ada suatu kesan digiring untuk toleran terhadap perbedaan ushul namun tidak untuk furu’. NU sangat kelihatan mesra dengan Syiah yang berada di luar ASWAJA dan juga minoritas Kristen dengan alasan rahmatan lil aalamin atau ukhuwwah basyariah yang sebenarnya dengan kecondongan ini adalah inkonsistensi terhadap penerapan ukhuwwah Islamiyyah dan Ukhuwwah basyariah harus bersama sama diterapkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Walaupun ada serangan wahabisme yang didengungkan namun tidak boleh membuat NU berpaling ke Syiah ataupun minoritas Kristen karna itu bukan saja tak sejalan asas qonuny Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asyary sebagai pendiri NU yang menolak Syiah dan Wahaby tapi harus tetap berada di tengah tengah semua posisi itu sehingga bisa secara adil dalam menerapkan toleransi.
  1. Sikap Tawaazun: “Yakni sikap seimbang dalam berkhidmah. Dalam hal ini adalah sikap menyerasikan antara khIdmah kepada Allah, sesama manusia dan lingkungan hidup. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini dan masa mendatang.”[27]
  • Pragmatisme KH. Idham Chalid: NU di bawah KH. Idham Chalid menurut keterangan KH. Hasyim Muzadi dan dikuatkan dalam makalah Ahmad Fahir tidak pernah mengalami gejolak internal selama 28 tahun. Dalam masa itu bukan dikatakan lebih mudah dari keadaan sekarang karna di dalam negri terjadi gejolak dalam wujud pembangkangan dan pembrontakan di mana mana yang hebat sampai dengan tahun 1965. “Orang yang mengerti Pak KH. Idham Chalid menyatakan beliau ini orang yang istiqomah dalam berbagai situasi tetapi orang yang tidak cocok dengan KH. Idham Chalid akan mengatakannya sebagai oportunis karna dari masa ke masa selalu mendapatkan tempat .”[28] jelas KH. Hasyim Muzadi. Istiqomahnya KH. Idham Chalid ini menjadi ujung tombak tawazun dalam mengabdi kepada Allah, negara dengan selalu mengedapankan Pancasila sebagai asas negara yang tak tergantikan dan tazwaazun lingkungan dengan upaya KH. Idham Chalid menghilangkan dichotomi jawa dan non jawa di NU membuat organisasi ini mengalamai kontraksi penguatan di luar Jawa dengan demikian NU tidak hanya kuat di lokal pulau Jawa namun dalam lingkup Nasional NKRI.
  • Pragmatisme pasca KH. Idham Chalid: telah terjadi ketimpangan dalam berkhidmah kepada sesama anak bangsa dan negara sekaligus kurangnya keseimbangan kehidupan antar maNUsia dalam lingkup nasional . Ini terjadi dari muara yang satu yakni terminologi teroris ala Ibnu Muljam diatas yang mengabaikan “al musaawat amaamal khukm “ atau “equality before the law”   yang dengannya tidak semua warga negara bisa bergelar teroris meski melakukan tindak terorisme. Sekarang ini bukan terlambat, NU bersama Nahdiyyin harus segera melakukan revolusi agar terminologi terorisme ala Ibnu Muljam ini dicabut dan digantikan dengan definisi yang lebih tawaazun dan i’tidal.
  1. Amar makruf Nahi Mungkar : “yakni sikap selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik, berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.”[29]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun