Aku anggukkan saja kepala.
Kami ke bidan. Berita gembira cukup melegakan kami pada awalnya. Semua baik-baik saja. Tak ada perubahan yang berarti, lalu kami pun pulang. Sepulangnya suamiku, aku menceritakan kejadian tersebut.
Selang seminggu kemudian kurasakan perutku semakin mengeras. Aku merasa aneh. Jbang bayi yang biasanya bergerak-gerak, menendang atau meninju, kini seperti diam.Â
Bahkan sering kugerak-gerakkan perutku dengan tangan. Biasanya sang bayi akan merespon dengan mengulet atau apalah apalah, tapi ini diam saja.
"Apa masih ada efek waktu jatuh itu ya? Kan sudah minum obat?" tanya suamiku.
"Tapi kata Bu Bidan waktu itu kandunganku baik-baik saja. Bagaimana ini?" sahutku kembali bertanya.
Aku baru teringat dengan doa pemberian ibuku itu.
Aku mulai menghafalkannya. Doa itu kubaca berulang-ulang kini sambil bebenah dan menanti suamiku pulang kerja.
Dua minggu terlewat dan gerakan bayiku semakin lemah. Suamiku sering menanyakannya. Ia kelihatan sangat hawatir dengan keadaan kehamilanku.
Kami pun ke bidan lagi. Kali ini Bu Bidan mengernyitkan dahi. Sebab alat pendeteksi suara jantung tak bersuara sama sekali. Beliau menyuruhku untuk bersabar.
"Rasanya terjadi sesuatu dengan bayi ini, yang sabar ya Bu?"
Aku gemetar mendengar penjelasannya.