Mohon tunggu...
Nur Janah Alsharafi
Nur Janah Alsharafi Mohon Tunggu... Konsultan - Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

ibu 4 anak dengan sejumlah aktivitas . Tulisan-tulisan ini didokumentasikan di blog saya : nurjanahpsikodista.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Laki-laki Tegar Adakalanya Jadi Korban

11 Februari 2019   15:59 Diperbarui: 12 Februari 2019   14:16 869
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from: pxhere.com

Laki-laki dan perempuan selalu saja menyisakan kisah. Adalanya kisah manis, adakalanya pahit. Ini bukan maya, ini adalah kisah nyata. Semoga ada hikmah di dalamnya.

Sosok Pertama adalah seorang laki-laki usia di bawah 40 tahun menceritakan dengan panjang tentang buramnya lembaran buku kehidupan rumah tangganya. 

Seorang laki-laki terpelajar, mempunyai kedudukan yang cukup baik di kantornya namun berasal dari keluarga sederhana. Kecerdasan dan kariernya lah yang membuatnya dapat menaklukan hati seorang gadis yang berasal dari keluarga kaya. 

Alasan bahwa gadis tersebut adalah satu-satunya anak perempuan membuat kedua orang tua gadis tersebut tidak mengizinkan mereka berdua pindah rumah. Ternyata hal itu membawa dampak yang menyakitkan. Lembar-lembar kelam alur gelombang rumah tangga dimulai. 

Makian, cercaan, hinaan yang dilakukan secara sistematis, konsisten, dan bertubi-tubi dilontarkan oleh sang istri dan ibu mertuanya. Laki-laki ini luar biasa, ia sabar dan terus berdoa untuk istri tercintanya juga untuk ibunda mertua.

Hingga kemudian lahir buah hati tercinta, ternyata episode kekerasan yang dialaminya makin meruncing. Apa yang harus dilakukan? Haruskah berpisah dengan istri cantik yang dicintainya dan buah hatinya yang tak berdosa? Ataukah ia harus bertahan hidup penuh kekerasan verbal yang tak jelas kapan selesai?

Kekerasan yang hadir hari demi hari, ibarat tikaman belati yang secara pasti mengikis perasaan cinta yang teramat nyeri. Perih awalnya, secara sistematis perih ini berubah menjadi orkestra duka cita yang berkepanjangan.

Sosok kedua adalah seorang pegawai sebuah perusahaan besar berusia jelang 45 tahun. Laki-laki ini berpenampilan rapi dengan tutur kata yang tegas dan sopan, mengesankan bahwa ia berpendidikan. Sama sekali tak mengira jika ia korban kekerasan.

Maskulinitas yang ditampilkannya ternyata berbanding terbalik dengan guratan nasib perjalanan hidup rumah tangganya. Istri cantik yang dinikahinya dengan penuh cinta dan dibiayai seluruh gaya hidupnya, ternyata berpaling ke lain hati. Istrinya lebih memilih laki-laki muda sebagai selingkuhan dan simpanannya. 

Laki-laki ini bersabar, laki-laki ini terus berusaha untuk dapat meraih lagi hati perempuan yang dicintainya. Entah sampai kapan kesabaran itu akan berbuah, hari-hari ia isi dengan ketegaran membesarkan buah hatinya.

"Papa, mama kapan pulang?" tanya anaknya yang hanya ia jawab dengan bahasa tubuh berupa pelukan dan gelengan kepala.

Ia tak mau buah hatinya hancur perasaannya menyaksikan realita yang ada. Ia tak mau kesakralan seorang ibu rusak di mata anak-anaknya gara-gara kobaran nafsu birahi yang tak terkendali. Baginya warna ibu tetaplah warna suci surgawi, tak layak diaduk dengan warna menor jalang yang murahan.

Sosok ketiga adalah seorang laki-laki tampan usia 35-an, pengusaha muda sukses yang beristrikan seorang selebritis papan atas. Sepuluh tahun membina biduk rumah tangga, rasanya tak ada yang salah pada setiap etape perjalanan yang dilaluinya. 

Sejak mereka berdua bukan siapa-siapa, hingga kemudian bisnisnya sukses dan karier istrinya melejit serasa lancar dan aman saja. Namun ketenaran dan kesuksesan sang istri justru menghadirkan gelombang dan badai dalam pernikahan mereka. 

Badai itu adalah kekerasan verbal bertubi hingga tuntutan yang tak kunjung batas. Pada akhirnya sang istri meminta cerai. Sang istri menampilkan wajah "korban" di depan rekan-rekannya, memutarbalikkan fakta dan diikuti dengan skenario berlabuh ke lain hati. Laki-laki ini tetap bersabar, ia tegar dan tawaqal atas apa yang terjadi. 

"Barangkali sudah habis jodohku dengannya," begitu jawabnya jika sahabat dan handai taulan bertanya. Meskipun dalam hati ia menjerit.

Ia menyesali mengapa ia habiskan lebih sepuluh tahun mengecat warna cinta pada dinding yang salah. Warna cinta yang indah kemudian pudar tak berguna. Akhirnya ia memilih tegar melangkah ke depan bersama buah hatinya tercinta.

Sosok keempat adalah seorang laki-laki usia 50-an. Beliau seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) dan pejabat struktural di sebuah institusi pemerintah. Keluarga yang ia bangun bersama istri tercinta pilihan hatinya dimulai dari nol. 

Istri cantik nan sholehah selalu mendukung langkah dan cita-cita sang suami. Hal inilah yang membuat kariernya mulus dilengkapi dengan hadirnya anak-anak yang sholeh dan sholehah amanah sang Khaliq untuk mereka berdua. Ketika sebagian anak-anak telah menikah bahkan cucu pertama telah lahir ternyata badai topan menerpa rumah tangganya. 

Istri yang telah memasuki usia senja, merasa kurang nyaman hanya sebagai ibu rumah tangga. Sang istri akhirnya mencoba terjun ke bisnis dan bergaul dengan para sosialita. Takdir berkata lain, istri tergoda mengerling ke lain hati. 

Perselingkuhan itu pun tak terelakkan, akhirnya sang istri menggugat cerai dan biduk perkawinan tenggelam. Laki-laki itu tak berdaya, air mata dan duka ia tutup rapat di jendela jiwanya yang terdalam. Ia tetap lahirkan ketegaran seorang laki-laki. Di depan anaknya ia tetap tersenyum dan menyampaikan bahwa ini adalah perjalanan nasib yang tak bisa dielak. 

Kadang ada rasa bersalah, namun tak guna sudah. Nasi telah menjadi bubur, bubur pun basi tak nikmat dicicipi. Dengan pahit ia tatap sang mantan istri berkemas melangkah meninggalkan rumah. Ikhlas atau penyesalan tak jelas lagi mana yang dominan. Kecut senyumnya namun ia tetap berzikir mengingat asma-Nya.

Laki-laki Juga Bisa Jadi Korban
Keempat kisah di atas bukan fiksi, namun ini kisah nyata. Para suami yang dalam kisah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sering diposisikan sebagai pelaku. Memang tidak keliru, karena prosentase  suami sebagai pelaku tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan istri sebagai pelaku.

Sebagai contoh adalah prosentase pelaku pembunuhan istri oleh suami sebanyak 40 % dan pembunuhan suami oleh istri hanya 6% (psychology today, 2017). Namun tak jarang manajemen hubungan yang tak sehat dapat memposisikan keduanya menjadi korban atau pelaku kekerasan.

Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, terkadang ditampilkan  dengan gaya cinta agape (cinta tanpa pamrih). Gaya cinta ini ditampilkan dengan perilaku kesediaan berkorban dan kesetiaan yang kuat tanpa pamrih pada pasangan (Taylor, 2009).  Gaya cinta semestinya positif, namun kadang menguras emosi dan penuh tekanan apalagi jika pasangannya tidak memberikan tanggapan yang seimbang.

Cinta yang mestinya menjadi pondasi dan pupuk untuk tumbuh suburnya sebuah perkawinan, mengapa kemudian salah satu pasangan berupaya untuk menghancurkannya. Laki-laki dan perempuan yang dilanda asmara dan memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan semestinya telah membangun komitmen bersama yang utuh. 

Perjalanan lah yang membuat kereta kencana cinta berbelok bukan pada jalurnya. Belokan patah oleh suami, atau belokan patah oleh istri. Entah mana pelaku, entah mana korban. Seringkali perempuan diposisikan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku. Adalanya berlaku kebalikannya seperti cerita nyata yang tertuang di atas, laki-laki menjadi korbannya. 

Mari kita kedipkan beberapa kali mata kita, terkuak lebar biarkan benderang warnanya. Nun di sana kita kan belajar bahwa perkawinan diniatkan untuk mendapat ridho-Nya. Ibarat dua nakhoda yang mesti bekerja sama, laki-laki dan perempuan, suami dan istri, merajut energi cinta untuk menggapai bahagia di dunia hingga akhir masa.

Panteriek, 11022019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun