Laki-laki Juga Bisa Jadi Korban
Keempat kisah di atas bukan fiksi, namun ini kisah nyata. Para suami yang dalam kisah KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) sering diposisikan sebagai pelaku. Memang tidak keliru, karena prosentase  suami sebagai pelaku tentu jauh lebih besar dibandingkan dengan istri sebagai pelaku.
Sebagai contoh adalah prosentase pelaku pembunuhan istri oleh suami sebanyak 40 % dan pembunuhan suami oleh istri hanya 6% (psychology today, 2017). Namun tak jarang manajemen hubungan yang tak sehat dapat memposisikan keduanya menjadi korban atau pelaku kekerasan.
Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, terkadang ditampilkan  dengan gaya cinta agape (cinta tanpa pamrih). Gaya cinta ini ditampilkan dengan perilaku kesediaan berkorban dan kesetiaan yang kuat tanpa pamrih pada pasangan (Taylor, 2009).  Gaya cinta semestinya positif, namun kadang menguras emosi dan penuh tekanan apalagi jika pasangannya tidak memberikan tanggapan yang seimbang.
Cinta yang mestinya menjadi pondasi dan pupuk untuk tumbuh suburnya sebuah perkawinan, mengapa kemudian salah satu pasangan berupaya untuk menghancurkannya. Laki-laki dan perempuan yang dilanda asmara dan memutuskan untuk menjalin ikatan perkawinan semestinya telah membangun komitmen bersama yang utuh.Â
Perjalanan lah yang membuat kereta kencana cinta berbelok bukan pada jalurnya. Belokan patah oleh suami, atau belokan patah oleh istri. Entah mana pelaku, entah mana korban. Seringkali perempuan diposisikan sebagai korban dan laki-laki sebagai pelaku. Adalanya berlaku kebalikannya seperti cerita nyata yang tertuang di atas, laki-laki menjadi korbannya.Â
Mari kita kedipkan beberapa kali mata kita, terkuak lebar biarkan benderang warnanya. Nun di sana kita kan belajar bahwa perkawinan diniatkan untuk mendapat ridho-Nya. Ibarat dua nakhoda yang mesti bekerja sama, laki-laki dan perempuan, suami dan istri, merajut energi cinta untuk menggapai bahagia di dunia hingga akhir masa.
Panteriek, 11022019