Mohon tunggu...
Nurizzah Hastuti
Nurizzah Hastuti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa pasca sarjana Komunikasi

penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pemikiran Kh Abdurrahman Wahid (Gusdur): Pribumisasi Islam

17 Desember 2023   16:09 Diperbarui: 17 Desember 2023   16:57 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pemikiran Kh Abdurrahman Wahid ( Gusdur ) : Pribumisasi Islam

Pendahuluan

Abdurrahman Wahid adalah sosok tokoh yang sangat lengkap secara intelektual dan merupakan seorang pemikir yang sangat berjasa untuk bangsa Indonesia dalam perjalanan hidupnya, tak hanya pikiran namun juga tenaga dan kemampuan nya dalam mengelola Negara sangat diperhitungkan dan dicintai oleh rakyat indonesia pada masanya.

Kajian terhadap pemikiran Abdurrahman Wahid memang sangat melimpah dengan berbagai sisi pandangan. Selain sisi Pendidikan, psikologi, pendekatan sosio kultural juga banyak digunakan. Sisi syariat juga menjadi pendekatan di beberapa kajiannya. latar belakang Abdurrahman Wahid yang berpendidikan Pesantren dan perguruan tinggi di Timur Tengah telah diakui memberikan dukungan terhadap Abdurrahman Wahid dalam penguasaan fikih dan usul fikih sehingga keilmuan nya sangat dipertimbangkan dalam konteks keislaman.

Banyak hal yang dapat dikaji dari sosok Kiai Abdurrahaman wahid mulai dari pandangan politik, agama, budaya dan bahkan banyak lainya, salah satu pemikiranya yang fenomenal adalah Pribumusasi Islam. Pribumisasi islam merupakan buah pikiran yang sangat penting dan menjadi rujukan terbentuk nya konsep islam nusantara.

Landasan Teori


Pribumisasi merupak istilah yang berasal dari bahasa latin yaitu indigeneus yang berarti asli, atau pribumi. Ignas Kladen menyatakan bahwa pribumisasi sebagai gerakan partikularisme, artinya kencenderungan untuk mengecualikan ilmu sosial Indonesia dari komunitas ilmu sosial internasional. Permasalahan sosial yang ada tidak dapat di selesaikan dengan komunitas akademis internasional melainkan diselesaikan dengan historis kultur yang dimiliki oleh suatu negara.

Istilah pribumisasi dapat diartikan dalam beberapa makna yaitu

  • Sebagai domestikasi, islamisasi, partikularisasi.
  • Pribumisasi dimaknai sebagai upaya membangun teori khas yang digali dari unsur etnik, budaya, atau agama yang sesuai dengan komunitas pendukungnya.
  • Pribumisasi bermakna penyelesaian teori yang sesuai dengan keadaan Indonesia.

Pribumisasi tidak hanya terbatas dalam sebuah makna saja akan tetapi mempunyai ruang gerak dalam mengaktualisasi ilmu ilmu yang berkaitan dengan sosial dalam realitas.

Pribumisasi merupakan sikap ketidakpuasan terhadap sesuatu hal yang muncul dari luar atau belahan dunia lain, dalam hal ini semisal budaya luar Indonesia seperti budaya barat, atau arab. Untuk menjaga identitas suatu tempat maka hadirlah pribumisasi, baik dalam hal ilmu, adat budaya dan lainnya sebagainya yang dianggap tidak mampu menjelaskan dan memecahkan problem masyarakat yang timbul hingga berefek kepada terkikisnya suatu hal dalam negeri tersebut.  

Pembahasan

Biografi Kh Abdurrahman Wahid

Sosok Abdurrahman wahid  atau biasa disapa Gus Dur, lahir di jombang, jawa timur pada tanggal 4 agustus 1940, ia adalah putra tertua dari K.H. Ahmad Wahid Hasyim yang merupakan tokoh nasional dan menteri agama pertama di Negara republik Indonesia. Kakek Abdurrahman wahid yaitu K.H Hasyim Asy’ari adalah pendiri sebuah lembaga atau ormas terbesar didunia yaitu Nahdatul Ulama, maka bisa dikatakan NU sudah mendarah daging pada sosok Kh Abdurrahman wahid.

Pada tahun 1944, ketika umur Gus Dur  memasuki 4 tahun, Gus Dur menemani ayahnya tinggal di Jakarta daerah meteng dalam rangka tugas kenegaraan dengan jabatan menteri agama pada zaman Soekarno. Selama dijakarta Gus Dur telah terbiasa bertemu dengan tokoh-tokoh nasionalis pada masa itu seperti Muhammad Hatta. Beliau juga mengingat momen dimana ketika bertemu dengan sosok teman akrab ayahnya yang akrab disapa paman Husein oleh Gus Dur. Seiring berjalannya waktu, identitas paman Husein ini terkuak bahwa ia adalah Tan Malaka yang merupakan sosok pemimpin Komunis terkenal. Padahal Wahid Hasyim merupakan warga NU namun tetap menjalin kekerabatan dengan masyarakat secara umum, termasuk Tan Malaka sendiri dan para teman-teman dari partai Komunis lainya.

Abdurrahman Wahid juga merupakan sosok presiden ke 4 negara republik indonesia. Ia dikenal sebagai tokoh bangsa yang nyentrik, humoris, dan juga dianggap nyeleneh. Dengan sederet kontroversi yang beliau timbulkan, Gus Dur sama sekali tidak mengkhawatirkan hal tersebut dan ia terkenal dengan slogan “Gitu  aja kok repot” . Gus Dur menjabat sebagai presiden republik Indonesia selama 21 bulan atau kurang lebih hanya 2 tahun sebelum akhirnya dikudeta oleh wakil nya sendiri pada saat itu yakni megawati dan amien rais yang pada saat itu menjabat sebagai ketua MPR. Walaupun Gus Dur menjabat sebagai presiden dalam waktu singkat namun ia cukup membuat perubahan pada masanya, yang diantarnya ia dengan berani dan terdepan membeli kaum minoritas seperti rakyat tionghoa, orang nasrani dan juga mendamaikan berhasil meredam konflik rakyat papua yang memberontak pada saat itu, Sebelum menjadi presiden, ia terlebih dahulu menjadi ketua PBNU selama 15 tahun sehingga sifat kemimpinan beliau memang sudah sangat teruji secara pengalaman.

Riwayat pendidikan Kh Abdurrahman Wahid

Gus Dur dikenal sebagai sosok cendekiawan muslim yang berpengaruh diindonesia, tentunya hal tersebut tidak terlepas dari pendidikan-pendidikan yang ditempuh dan guru-guru yang mempengaruhi pemikiran nya sehingga dianggap visioner atau jauh kedepan.

Adapun jenjang pendidikan yang dilewati oleh Gus Dur yakni Pada tahun 1953 sampai 1957 Ia belajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gus Dur tinggal di rumah Kyai Haji Junaid, seorang Kyai Muhammadiyah dan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah. Beberapa tahun kemudian, ia mondok di Pesantren Tegalrejo, sebuah pesantren NU terkemuka di Magelang, Jawa Tengah di bawah bimbingan khusus KH. Chudhori dan Kyai ini pulalah yang memperkenalkan kepada Gus Dur amalan-amalan ritual dan mistik secara mendalam. Kyai Chudori merupakan sosok Kyai yang dikagumi Gus Dur karena sosok yang humanis. Di bawah bimbingan Kyai ini, Gus Dur kerap kali melakukan ziarah kubur ke beberapa wali di Jawa pada hari-hari tertentu, berdoa dan membaca al-Qur’an di Candimulyo. Ini semua merupakan pengalaman religius yang memperdalam dimensi spritualitas Gus Dur. Kemudian pada tahun 1957, ia sempat nyantri di Pesantren Krapyak, Yogyakarta dan tinggal di rumah KH. Ali Maksum. Tahun 1959 sampai 1963, Gus Dur belajar di Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang, asuhan kakek dari ibunya, KH. Bisri Syamsuri. Ketika itu, ia pun diminta mengajar santri santriwati yang lebih muda termasuk Sinta Nuriyah yang kemudian diperistrikannya.

Pada tahun 1964 Gus Dur meninggalkan tanah air menuju Kairo, Mesir, untuk belajar ilmu-ilmu agama di Ma'had al-Dirasat al-Islamiyyah yang berada di lingkungan al-Azhar Islamic University. Keberadaannya di lembaga pendidikan tertua di Timur Tengah ini menjadikan Gus Dur sangat kecewa dengan atmosfir intelektual di al-Azhar yang memadamkan potensi pribadi karena teknik pendidikannya yang masih bertumpu pada kekuatan menghafal, bahkan kekesalannya menjadi-jadi karena apa yang dipelajari di sana telah dihafal ketika ia berada di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah dan Krapyak Yogyakarta. Merasa tak pas dengan situasi dan teknik pengajaran dan pembelajaran di al-Azhar University ini, sebagai gantinya, ia menghabiskan waktu di salah satu perpustakaan yang lengkap di Kairo, termasuk American University Library, Dar al-Kutub dan Perpustakaan Universitas Kairo. Selama di Kairo, Gus Dur begitu tertarik pada film-film Perancis dan sepak bola, bahkan terkadang menonton film sampai dua atau tiga kali sehari. Di Kairo, Gus Dur aktif di mana-mana, termasuk di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) untuk Timur Tengah sebagai Sekretaris Umum masa bakti 1964 hingga 1970. Akan tetapi hal ini tidak menjadikannya betah yang pada akhirnya terbang ke Baghdad tepatnya di Universitas Bagdad. Di Perguruan Tinggi ini Gus Dur melewatinya dengan penuh rasa bahagia karena mempelajari sastra Arab, filsafat dan teori sosial Eropa, selain itu, terpenuhi pula hobinya untuk menonton film-film klasik. Bahkan, sistem yang diterapkan di Universitas Baghdad ini, yang dalam beberapa segi dapat dikatakan lebih berorientasi Eropa daripada sistem yang diterapkan di Mesir.

kemudian Pada tahun 1971, Gus Dur mampir ke Eropa dengan harapan memperoleh penempatan di sebuah Universitas, tapi sayang sekali ternyata kualifikasi-kualifikasi mahasiswa dari Timur Tengah tidak diakui di universitas-universitas Eropa. Inilah yang memotivasi Gus Dur pergi ke Mc Gill University, Kanada, untuk mempelajari kajian-kajian keislaman secara mendalam. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren, termasuk berita hangat tentang politik tanah air.

Perjalanan Gus Dur di luar negeri berakhir pada Juni 1971. Pertama kalinya pulang ke Indonesia ia bergabung di Fakultas Ushuluddin, UNHAS (Universitas Hasyim Asy'ari), Jombang sebuah Perguruan Tinggi Islam yang didirikan pada tahun 1969 oleh tokoh-tokoh NU. Di Perguruan Tinggi ini, Gus Dur mengajar Teologi dan beberapa mata kuliah agama lainnya. Pada tahun 1974, dia menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng Jombang. Masih tahun yang sama, terlihat pula keaktifannya sebagai penulis kolom dan artikel berbagai harian dan majalah, di samping itu sibuk pula sebagai pemakalah pada berbagai seminar dan diskusi, baik seminar yang sifatnya regional, nasional maupun internasional. Gus Dur pun kemudian terlibat dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada program training-training, termasuk juga untuk pendeta Kristen. Di LP3ES, Gus Dur bersama Dawam Raharjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono dalam proyek pengembangan masyarakat pesantren. Pada perkembangan selanjutnya, Gus Dur bersama para Kyai yang dimotori oleh LP3ES mendirikan P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), suatu LSM yang sekarang intens melakukan enlightenment (memberi penerangan dan penjelasan terhadap berbagai fenomena keagamaan dan kemasyarakatan) terhadap para Kyai dan santri.

Gus Dur selain menjadi santri atau mondok di pesantren, ia juga pernah belajar ilmu islam dan sastra arab ditimur tengah dan eropa sehingga keilmuan agama gusdur tidak diragukan lagi oleh masyarakat, bahkan Gusdur dianggap atau dijuluki “wali kesepuluh” atau “sunan tebuireng” oleh sebagian besar umat islam yang makamnya selalu sesak oleh peziarah dari berbagai macam kalangan masyarakat dan agama, peziarah bukan hanya dari islam saja melain kan dari berbagai agama lainnya.

Bisa dilihat bahwa sosok Gus Dur merupakan sosok yang menjadi paket lengkap dan termasuk harta yang dimiliki bangsa Indonesia, disamping seorang santri tradisional Gus Dur juga menguasai ilmu bidang akademik hingga tingkat internasional sehingga ilmunya memang sangat-sangat dibutuhkan oleh bangsa indosia. Meskipun Gus Dur sudah berpulang pada tahun 2009 silam, namun pikiran-pikiran dan jasa-jasanya selalu diingat dan dibicarakan hingga sampai hari ini.  

Pemikiran Abdurrahman Wahid : Pribumisasi Islam

Pemikiran Abdurahman wahid tentang relasi islam dan budaya lokal bangsa dalam pribumi islam masih banyak diperbincangkan oleh berbagai kalangan hingga saat ini. Sebagian orang menanggapinya sebagai penyimpangan. sementara yang lainnya intensif menyebarluaskannya dalam berbagai media, baik lokal, nasional maupun internasional.

Gus Dur memang pribadi yang lengkap. Latar belakang Pendidikan sangat beragam, dari Pendidikan sekuler, pesantren di Indonesia hingga mengembara ke beberapa universitas di Timur Tengah. Pengalaman sebagai pimpinan Organisasi Islam terbesar Indonesia juga dilalui dalam beberapa periode pemilihan. Selama itu, ia juga bekerja sebagai peneliti pada Lembaga penelitian sosial Indonesia terkemuka. Pemikiran keagamaan dan kebudayaan semakin terwarnai setelah mendapat kesempatan sebagai Presiden Repubik Indonesia dari tahun 1999-2001.

Konsep pemikiran Gus Dur yaitu pribumisasi Islam salah satu wujudnya adalah yang disebut  dengan Islam Nusantara, yakni perwujudan Islam melalui tardisi dan budaya lokal Nusantara. Kata ‘melalui’ di sini mempunyai arti, bahwa antara Islam dan tradisi lokal tidak mengalami reduksi atau perubahan. Dengan kata lain, Islam tetap pada karakternya, budaya juga tetap pada karakternya sehingga satu sama lain tidak bersifat dominatif.

Gus Dur menggagas Pribumisasi Islam karena memahami dan melihat fenomena keislaman di Indonesia yang justru mereduksi budaya dan lokalitas oleh bangsanya sendiri dengan menonjolkan diri bersama simbol-simbol lokalitas Arab secara verbal maupun fisik. Tidak hanya itu, mereka bahkan menganggap bahwa Islam itu Arab. Sehingga menolak bentuk keislaman lokal yang sesungguhnya manisfestasi universalisme Islam. Artinya, sesungguhnya lokalitas diwarnai oleh Islam, bukan sebaliknya, Islam diwarnai oleh lokalitas. Sehingga pada titik ini, pribumisasi Islam menemukan urgensinya sebagai metode dalam membentuk Islam nusantara.

Menurut Gus Dur, “proses pengenalan diri” Budaya Timur Tengah (Arabisasi) adalah mencabut budaya kita dari akarnya, apalagi arabisasi tidak selalu memenuhi kebutuhan budaya lokal tanpa meremehkannya. Dalam hal ini, Gus Dur ingin mencoba untuk melepasan paket ajaran Islam modifikasi lokal yang dibawa ke Indonesia dari unsur budaya arab, Masyarakat Indonesia yang santun dan ramah juga menjadi salah satu cirinya karakteristik yang bisa menjadi modal utama dari konsep toleransi yang saat ini cenderung semakin “berdengung” namun inti dari pribuminisasi Islam adalah tidak perlu menghindari polarisasi agama dengan budaya, karena polarisasi agama akan terus terjadi tanpa tidak bisa dihindari.

Manisfestasi kehidupan Islam melalui tradisi dan budaya lokal itulah konsep kenusantaraan Gus Dur dalam mewujudkan Islam yang khas nusantara. Tentu pemikiran Gus Dur ini tidak jauh dari pemahaman Islam para Wali Songo yang  menggunakan tradisi dan budaya lokal sebagai instrumen penyebaran agama Islam saat itu. Wali Songo, begitu pula Gus Dur, sangat menyadari bahwa agama tidak bisa tumbuh jika tidak ada media tanam. Seperti halnya tumbuhan tidak memiliki media tanam yaitu tanah. Oleh karena itu, pribumisasi Islam menurut Gus Dur dapat dikatakan mengembangkan tradisi, budaya, maupun seni lokal untuk menginternalisasi nilai-nilai Islam ke dalam masyarakat nusantara. Sehingga nusantara dapat dijadikan sebagai media aktualisasi Islam.

Agama serta budaya bagaikan dua sisi mata uang yang tidak mampu dipisahkan. Islam bersumberkan wahyu yang berciri normatif, maka cenderung menjadi permanen. Sedangkan budaya merupakan ciptaan manusia, oleh sebab itu perkembangannya mengikuti zaman serta cenderung untuk selalu berubah.

Pribumisasi Gus Dur mendorong muslim mayoritas di Indonesia untuk terbuka terhadap keberagaman yang ada. Penghargaan terhadap pluralitas itu bisa memunculkan sikap toleran, demokratis, dan keadilan. Dengan demikian kehidupan bangsa yang damai bisa terwujud tanpa ada konflik berkelanjutan yang sering melanda bangsa ini.

Pribumisasi juga merupakan usaha dakwah dalam model amar ma’ruf nahi mungkar selaras dengan ide mabadi khoiru ummah. Pelaksanaannya yakni menasionalisasikan nilai Islam tanpa kesenjangan antara kepentingan bangsa dan agama. Islam seperti semua agama lain di Indonesia diaktualisasikan dalam bermasyarakat serta kenegaraan. Yang dibutuhkan umat Islam Indonesia yakni menyatukan aspirasi agama dan bangsa.

Sebagai seorang cendikiawan muslim di Indonesia yang banyak menuangkan gagasan gagasannya dalam menjawab persoalan-persoalan umat islam masanya seperti Pribumisasi Islam yang merupakan perpaduan nilai-nilai budaya lokal suatu daerah dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Islam, Pribuminisasi Islam pada hakikatnya merupakan konsep berfikir dengan tetap melestarikan nilai budaya yang telah ada dengan tetap memenuhi esensi agama Islam didalamnya selama nilai tersebut tidak melenceng dari apa yang sudah di tetapkan dalam syariat islam sehingga dapat menghadirkan kebaikan dan menciptakan kerukunan diantara sesama penganut agama yang ada di Indonesia.  

Pribumisasi Islam Sebagai Metodologi

Jika dilihat dari sejarah, pribumisasi Islam merupakan cara Gus Dur khususnya dan NU umumnya untuk menolak campuran budaya arab yang dianggap sebagai agama atau Arabisasi. Tapi ini juga bukan pikiran baru yang datang dari Gus Dur, karena sejak dulu para kiai kampung atau guru-guru pesantren sudah punya kecenderungan untuk menghadirkan jenis keislaman yang khas dengan kondisi adat budaya tanah air yaitu indonesia, tanpa banyak dicampur unsur Arabisme. Jadi, pribumisasi Islam hanya stempelnya saja. Gus Dur berjasa dala merumuskan teori pribumisasi. Gus Dur telah memberi nama terhadap jenis perjuangan yang dilakukan oleh para ulama Indonesia sejak Wali Songo sampai sekarang.

Sebagai metode untuk memahami Islam yang terwujud melalui tradisi adat dan budaya lokal, tidak berjalan mudah dan bukan tanpa tantangan. Kalangan arab atau sebagian kecil para alumni-alumni arab dengan paham wahabi misalnya, yang hingga sekarang masih menilai bahwa paham Islam yang dicampur adukkan dengan budaya membuat Islam tidak lagi murni secara teologis. Padahal seperti yang sudah Gus Dur jelaskan di awal, pribumisasi Islam tidak menyentuh wilayah keimanan seseorang atau ibadahnya secara formal melainkan menyesuaikan dengan budaya dimana islam itu berada. Hal ini seperti yang telah dikatakan Gus Dur.

Contoh paling mendasar manifestasi dari pribumisasi Islam adalah munculnya konsep Islam Nusantara yang dipakek oleh masyarakat Nahdatul Ulama. Dalam hal Islam Nusantara, Gus Dur hanya mewariskan metodologi bagi Islam Nusantara, dan tidak tentang Islam Nusantara itu sendiri. Namun demikian, pandangan tentang Islam Nusantara bisa didapatkan pada pandangan Gus Dur tentang sejarah kedatangan Islam di Nusantara, kemudian bagaimana proses akulturasi antara Islam dan budaya di Nusantara, hingga corak kultural dari keislaman pesantren, yang menurutnya menjadi produk yang diperhitungkan dari islamisasi di Nusantara.

Dalam kaitan ini, karena wilayah Islam Nusantara berada pada wilayah Islam dan budaya Nusantara, maka pribumisasi Islam menjadi metodologi bagi pembumian Islam ke dalam budaya tersebut. Hal ini terjadi karena pribumisasi Islam merupakan proses peleraian ketegangan antara Islam dan budaya. Islam merupakan agama hukum yang memuat jaringan aturan, sedangkan budaya merupakan kreasi manusia yang memuat proses perubahan. Antara aturan yang menuntut ketetapan, dengan kreasi yang meniscayakan perubahan dan sering melahirkan kontradiksi dan akhirnya  ketegangan antara agama dan kebudayaan.

Oleh sebab itu, pribumisasi Islam memuat beberapa pemahaman. Pertama, pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri Arab maupun di negeri selain Arab, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cadangan sehingga  sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahkan pada tahap berikutnya, aliran sungai ini terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Kedua, pribumisasi Islam bukanlah Jawanisasi atau sinkretisme, sebab ia hanya proses mempertimbangkan kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.

Ketiga, pribumisasi Islam bukan upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash dalil, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qaidah fiqh. Keempat, pribumisasi Islam merupakan pengembangan pemahaman nash agar berjalan lebih sistematik dengan cakupan yang lebih luas dan argumentasi yang lebih matang. Jika hal ini terjadi, maka Islam telah dipribumisasikan, yakni pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita atau dimanapun islam itu berada.

          Di samping itu Gus Dur Dur juga menyediakan batasan tentang “apa yang tidak boleh terjadi” dalam pribumisasi Islam. Yang Meliputi yaitu :

  • Tidak boleh terjadi pembauran Islam dengan budaya, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Semisal Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, tidak kemudian dirubah dalam bahasa jawa misalnya. terutama dalam shalat, sebab Al-Quran telah menjadi norma yang tidak bisa dirubah oleh siapapun.
  • Penyesuaian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah misalnya, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan.
  • Karena adanya prinsip-prinsip yang keras atau sudah final dalam hukum Islam, maka adat tidak bisa mengubah nash melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja dan memang aplikasi tersebut akan berubah dengan sendirinya. Misalnya, Nabi tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama yang mendefinisikan gandum sebagai qutul balad, makanan pokok. Dan karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia.

    Dari sini kita bisa memahami bahwa pribumisasi Islam yang digerakkan Gus Dur bermaksud menkontekstualisasi Islam yaitu islam yang sesuai dengan kondisi  waktu dan tempat disetiap islam itu berada tanpa mengubah syariat dan nilai islam itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun