Mohon tunggu...
nuril huda
nuril huda Mohon Tunggu... -

ada apanya, apa adanya...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tidak Sedang Mencari Sosok Messiah

1 Agustus 2012   07:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:22 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menjelang putaran kedua pilkada DKI, dinamika politik di ibukota, makin tajam. Saling serang antar kandidat dan masing masing tim pemenanganya, kini tak terhindarkan. Berbagai sorotan dan kritisime kini tidak lagi sebatas visi dan misi kandidat, melainkan juga menyangkut pesonality masing-masing figur. Terutama di sosial media, berbagai hal paling privasi figur kandidat diekspose, menyangkut hal ihwal yang kalo benar demikian adanya tentu merupakan pukulan telak bagi integritas dan kredibilitas kandidat. Dalam hal ini isu yang mengemuka tidak terlepas termasuk yang beraroma sara.

Bagi sebagian publik, khususnya pemilih ideologis, mungkin informasi yang beredar tidak lebih dari rumor atau hoax, berita kosong yang tidak akan merubah pilihan apapun. Alih-alih menggerus loyalitas, dengan serangan demikian bisa jadi sebaliknya, kecintaan dan loyalitas pada kandidat makin kuat. Sebaliknya kebencian pada lawan makin menguat dan memandangnya tidak lebih sebagai bagian dari psywar atau kampanye hitam .

Terlepas dari benar tidaknya isu yang dieksposure belakangan, apakah sebatas hoak atau merupakan kebenaran sejati, hal yang patut digarisbawahi dari gejala “buka-bukaan” (disclosure) di sosial media, sebagai media alternatif yang dewasa ini makin digemari dan makin efektif dampaknya, berbagai disclosure atas isu-isu sensitif menyangkut personlity figur kandidat, sebetulnya merupakan gejala yang sehat dan produktif. Setidaknya hal ini dapat menjadi opini banding pemilih dalam menimbang agar lebih selektif dalam menjatuhkan pilihan final pada figur. Dengan input yangs emakin beragam, maka masa-masa jeda menjelang putaran kedua, terutama bagi pemilih mengambang, dapat menjadi momen strategis mengendapkan dan menyaring pilihan kandidat terbaik.

Belakangan ini figur yang paling banyak mendapat sorotan dan kritisisme, adalah sosok Jokowi dan Ahok. Ini wajar karena pada putaran kedua, bagaimanapun Jokowi-Ahok lebih diunggulkan, sebagaimana tercermin pada perolehan suara di putaran pertama. Kini posisi Jokowi Ahok seolah berbalik menjadi incumbent, yang akan ditantang oleh pasangan foke nara, yang menjadi incumbent sebenarnya pada putaran pertama.

Salah satunya yang menarik adalah kulwit akun berpengaruh dengan folower besar, semacam triomacan@2000 , yang menggugat integritas dan kebersihan Jokowi dan sikap avonturer dan kutu locat kekuasaan ala Ahok, yang gemar pindah partai dan hoby mengikuti pilkada di berbagai tempat. Demikian juga akun dan media sosial lainnya, berlomba mencuatkan berbagai isu dan gugatan kredibilitas kandidat, tak pelak makin memanaskan situasi menjelang putaran kedua.

Terlepas benar tidaknya, situasi yang demikian membuat suhu politik putaran kedua makin panas. Kandidat tentu sudah menyiapkan diri dengan situasi demikian, beserta amunisi dan terapi penangkalnya. Masalahnya adalah seberapa kuat daya tahan dan kepercayaan pemilih terhadap figur di putaran pertama akan dipertaruhkan pada putaran kedua. Kuat lemahnya loyalitas pemilih turut mempengaruhi daya rusak perang opini dan psywar antar kandidat. Kekuatan karakter figur kandidat akan diuji di tengah gempuran dan perang opini. Dengan karakter figur yang pas pasan bukan mustahil di tengah kritisisme dan intensitas serangan bertubi-tubi, pada akhirnya menggoyahkan kepercayaan pemilih dan berbalik pada pilihan putaran kedua.

Tulisan ini tidak hendak memanaskan situasi perang wacana yang terjadi ataupun mempertajam substansi isu dan amunisi bekal saling mengkritisi antar figur. Alih alih artikel ini hendak mengetangahkan bahwa dalam situasi demokrasi langsung, situasi konfliktual demikian tidak terhindarkan. Selain itu tulisan pendek ini juga bermaksud urun rembuk atau usul agar polemik yang terjadi antar kandidat saat ini dinaikan satu level lebih tinggi menjadi perang wacana atau program yang kongkrit. Dengan menaikan level polemik ini, selain nilai kemanfataan bagi demokrasi yang sehat dan produktif lebih tinggi juga menyangkut kenyataan agar pilihan rasional konstituensi bermuara pada lahirnya figur rasional, yang terbukti kualitas dan kinerjanya, bukan malam terjerembab memilih figur pemimpin yang diselimuti mitos. Adalah sebuah tragedi demokrasi jika dalam pilkada Jakarta, sebagai episentrum dan barometer wajah demokrasi kita, publik akhirnya hanya melahirkan figur macan kertas, tokoh yang besar di permukaan namun tidak nyata dan membumi kinerjanya.

Baukan Tokoh Instan

Sorotan dan kritisisme yang lebih dominasi terhadap sosok jokowi ahok , di putaran kedua ini, adalah seolah tidak terhindarkan. Setidaknya dua hal dapat dikemukakan.

Pertama, pasangaan Jokowi Ahok di putaran kedua, menyusul kemenangan putaran pertama, adalah bagaikan “incumbent”, lebih diunggulkan. Bagi, sebagian kalangan kemenangan pasangan ini masih menyisakan pertanyaan selain kekaguman besar. Publik dibuat penasaran dengan sosok satu ini. Bagaikan mimpi di siang bolong, mereka dikagetkan dengan kemampuan Jokowi yang notabene walikota dari suatu kota kecil, dan Ahok yang justru pernah terlempar dan kalah telak dari pilgub propinsi bangka belitung, pada realitasnya sanggup mengacak-acak figur incumbentyang notabene relatif teruji kepemimpinanya . Jokowi –Ahok sontak jadi figur fenomenal, beliefe or not, seperti dalam kisah film form zero to hero. Cara Jokowi merebut publik Jakarta, bagaikan dalam komik, seperti kisah legenda Bandung Bondowoso, yang dalam semalam mampu membuat seribu candi, untuk merebut hati gadis Lorojongrang.

Kedua, dalam realitasnya, di sisi yang lain, dalam pilkada DKI jakarta, sebagaimana dalam pilkada umumnya, yang dibutuhkan publik jakarta jelas bukanlah tokoh instan sejenis Bandung Bondowoso yang datang untuk menyulap Jakarta dalam semalam. Sebagaimana dalam pilkada umumnya, yang diinginkan sejatinya hanyalah memilih dan mendapatkan sosok pemimpin yang mampu mengatasi berbagai problematika kongkrit ibu kota Jakarta --- yang tentu saja dalam realitasnya jauh lebih sublim dan kompleks dibanding katakanlah kota kecil seperti Solo di Jateng. Dalam pilkda ini, yang sedang dinantikan Jakarta sejatinya adalah figure manusia normal namun memiliki modal pengalaman, kapabilitas, integritas, dan moralitas di atas rata-rata. Dengan modal inilah warga berharap mendapatkan pemimpin yang dapat memecahkan berbagai masalah mereka (problem solving).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun