Mohon tunggu...
Nuril Amilya
Nuril Amilya Mohon Tunggu... Lainnya - PWK

Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Money

Permasalahan Perpajakan Terkait APBN di Indonesia

15 April 2021   21:14 Diperbarui: 18 April 2021   10:49 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pajak ialah sumber penerimaan yang sangat urgent untuk pembiayaan pembiayaan pengeluaran negara baik pengeluaran teratur maupun pengeluaran pembangunan. Pada dasarnya, tidak terdapat seorang juga yang melakukan secara suka rela untuk menunaikan pajak sebab para Wajib Pajak merasa bahwa mereka tidak mendapat keuntungan sama sekali atau timbal balik dari jumlah pajak yang mereka bayarkan. 

Perbedaan kepentingan ini ingin memancing Wajib Pajak untuk meminimalisir beban pajaknya baik secara illegal maupun legal, urusan ini pun di mungkinkan oleh masih banyaknya celah ketentuan perpajakan yang masih dimanfaatkan oleh sumber daya insan petugas pajak (fiskus) untuk mengerjakan praktek Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) dengan Wajib Pajak yang tidak jujur.

Dalam dua dekade ini, pajak merupakan salah satu isu utama yang terjadi saat ini, baik pihak pemerintah maupun pihak Wajib Pajak di Indonesia, pemerintah dari tahun ke tahun membutuhkan biaya yang semakin meningkat.

Menyadari urusan ini maka pada akhir tahun 1983, pemerintah Republik Indonesia mengawali di adakannya Tax Reform. Hal ini telah menciptakan perubahan fundamental ke arah pembaruan dalam sistem perpajakan nasional. Masyarakat ditempatkan dalam posisi utama dalam pelaksanaan keharusan perpajakannya. Hal ini paling sejalan dengan tuntutan social oriented, di mana masyarakatlah yang sangat menilai kehidupan dan kegiatannya, sementara pemerintah lebih bermanfaat sebagai pengawas, pembina dan penyedia fasilitas.

Pemerintah sendiri memasang target penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.861,8 triliun dalam Rancangan APBN (RAPBN) 2020. Target itu lebih tinggi 13,3% dari proyeksi (outlook) penerimaan perpajakan pada tahun ini yang sebesar Rp 1.643,1 triliun. Sementara itu, rasio pajak ditargetkan menjangkau 11,5% terhadap PDB pada tahun depan. Ini pun lebih tinggi dikomparasikan outlook capaian tax ratio 2019 yang sebesar 11,1%.

Ada lima persoalan utama yang menghambat tercapainya target penerimaan perpajakan dalam RAPBN 2020.

Pertama, program perpajakan semakin tidak efektif tampak dari perkembangan penerimaan sampai masa pelaporan surat pengumuman tahunan (SPT) di bulan April yang malah melambat. Dari program SPT tahunan tahun ini perkembangan penerimaan pajak melulu 1,02%, jomplang dengan penerimaan perpajakan pada masa SPT pada 2017 yang menjangkau 19,22% maupun pada 2018 sebesar 10,89%.

Kedua, ketersediaan sumber daya insan (SDM) perpajakan masih paling kurang. Rasio SDM perpajakan dengan jumlah warga di Indonesia sebesar 1:5.923 penduduk. Jika diperbandingkan dengan jumlah mesti pajak (WP) pun masih rendah yakni 1:936 WP. Artinya, beban SDM perpajakan masih paling tinggi kendati telah muncul pertolongan teknologi dan software online yang melayani jasa perpajakan.

Ketiga, tingkat kepatuhan WP kian merosot. Juni 2019, tingkat kepatuhan melulu 67,4%. turun dari 72,6% pada tahun 2017 dan 71,1% pada 2018. Padahal jumlah WP terus bertambah. Ini mengindikasikan basis data yang tidak cukup bagus dari otoritas perpajakan.

Dua masalah terakhir menyangkut kepandaian insentif perpajakan pemerintah yang dinilai tidak efektif. Antara lain, kepandaian yang terlalu pro-pebisnis serta relaksasi fiskal yang inefisien. Wacana penurunan tarif PPh Badan, misalnya, di anggap tidak terlampau efektif sebab hubungan dengan penerimaan pajak yang inselastis. Artinya, penurunan tarif tidak serta merta efektif menambah penerimaan perpajakan.

Selain itu, besaran melakukan pembelian barang pajak ingin meningkat semenjak 2016 sampai 2018 menjangkau Rp 221,1 triliun. Namun, melakukan pembelian barang pajak ini belum dapat mendongkrak perkembangan ekonomi ke atas 5% dan belum dapat mendorong sektor manufaktur yang pun masih tumbuh lebih lambat daripada perekonomian nasional.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun