Ditulis oleh : Nur Ihsan
Tanggal: 3 Juli 2025
Hari ini saya memutuskan untuk mengunjungi kawasan yang dulu cukup ramai diperbincangkan: Pasar Apung Muara Angke. Tujuan saya sederhana menikmati makan seafood segar langsung dari sumbernya, sambil merasakan sensasi makan di pinggir pantai Jakarta. Tapi di tengah harapan tinggi itu, muncul juga beberapa catatan yang cukup menarik untuk dibagikan.
Pasar Apung: Harapan Besar, Kenyataan yang Mulai Pudar
Pasar Apung Muara Angke ini sebenarnya diresmikan beberapa tahun lalu oleh mantan Gubernur Anies Baswedan. Konsepnya keren banget---pasar modern terapung di pinggir laut, lengkap dengan fasilitas makan di tempat dan pemandangan kapal nelayan hilir-mudik. Saya pribadi cukup antusias waktu itu, karena konsep ini jarang ada di Jakarta.
Namun sayangnya, kunjungan saya hari ini justru memunculkan rasa miris. Terutama ketika saya naik ke lantai 2, yang dulu katanya disiapkan untuk tempat makan dengan view laut. Atapnya kini sudah rusak parah. Beberapa bagian plafon nyaris roboh, dan suasana sepi menambah kesan tak terawat. Cukup disayangkan, mengingat fasilitas ini dulunya digadang-gadang menjadi wajah baru wisata kuliner laut di Jakarta.
Soal Rasa dan Harga: Segar, Tapi Mahal?
Saya sempat membeli beberapa jenis seafood---kepiting, kerang, dan udang. Harga mentahnya memang cukup standar, tidak jauh beda dengan pasar-pasar tradisional lainnya. Tapi yang bikin saya sedikit kaget adalah biaya masak yang dipatok sebesar Rp40.000 per jenis menu (per 3 Juli 2025). Jadi, kalau kamu beli tiga jenis seafood dengan berat masing-masing 1 kilogram dan minta dimasak dengan tiga menu berbeda, kamu harus merogoh kocek Rp120.000 hanya untuk biaya masaknya saja.
Rasa makanannya? Cukup enak, bumbunya meresap, dan tentunya masih segar karena langsung dari pasar. Tapi jujur saja, untuk total harga keseluruhan (beli mentah + biaya masak), rasanya tidak terlalu berbeda jauh dengan makan di restoran seafood yang sudah jadi dan nyaman.
Padahal ekspektasi saya, makan di tempat seperti ini akan terasa lebih 'down to earth', murah, dan autentik. Sayangnya, sisi "pengalaman khas" itu jadi agak tenggelam karena kondisi tempat yang kurang terawat.