"Iya, orang-orang masih saja meragukan kita. Padahal kurang loyal apa kita kepada negara ini. Lihat saja pertanian, irigasi dan jalan-jalan yang ada di sini. Siapa yang membangun? Semula disini hanya hutan belantara." Teman Pak Dullah ikut geram juga.
"Mungkin karena kamu tidak hapal Pancasila, Jo," canda Pak Dullah kepada temannya.
Kami tergelak. "Anak TK yo hapal Dul! Tapi kan yang namanya Pancasila tidak hanya sekedar dihapalkan, harus diamalkan." Pak Jo memainkan rokoknya.
"Hey, anak muda, jangan ragukan betapa kami sudah sangat Pancasilais. Selama putih tulangku, merah darahku, Pancasila tetap agung di dadaku!" seru Pak Dullah.
Pak Jo kembali tergelak. Ia menepuk pundak Pak Dullah. "Percaya, Dul! Mereka berdua juga percaya, buktinya sampai dibela-belain jauh-jauh datang dari Jawa ke sini. Untuk apa coba? Cinta! Bener apa betul, Nduk?"
Aku tertawa. Kulirik Anya yang tersipu, sampai pipinya memerah begitu.
Pagi di hari berikutnya, pipi Anya kembali memerah. Kali ini hidungnya juga. Ada air mata mengintip di sudut netranya.
"Di sini tempatku pulang, Mas," katanya pelan.
Maksudnya? Mengapa dada ini tetiba terasa nyeri?
"Bagaimana dengan sekolahmu?" Suaraku menekan getir di hati. Kami bertemu di sebuah komunitas yang aktif membuat sekolah untuk anak jalanan. Kegiatan yang sebagian dananya berasal dari Pak Dullah.
"Kania sudah bisa menangani. Mas Fahri juga masih bisa membantu." Anya memegang tanganku.