"Yo mesti ae Pa hilang, lha wong tulisannya juga hilang kena air."
"Spidolnya anti air Ma."
"Memangnya Papa nulis apa di sandalnya?"
"Tak kasih tanda silang besar warna hitam."
Tidak enaklah aku menulis namaku sendiri di sandal. Kayak anak kecil saja, semua dinamai. Pensil dinamai, buku dan tas juga. Nanti sama seperti anakku yang masih kelas satu SD. Dan lagi tulisan nama kok diinjak-injak, bisa kuwalat sama yang memberi nama nanti.
Kali ini istriku tidak marah-marah  karena aku pulangnya nyeker.
"Besok tak belikan lagi Pa, yang murah saja, kalau hilang gak getun."
Sandal yang ketiga , kupotong bagian ujung belakangnya. Jadi bagian yang melengkung jadi lurus. Malah jadi tidak enak ketika dipakai. Seperti memakai sandal kekecilan saja. Yang ketiga ini tidak hilang sebenarnya. Aku pulang nyeker lagi karena bingung menentukan mana sandalku karena ternyata banyak yang menggunakan cara ini pada sandalnya.
"Ya Allah, Papa ! ini sudah keterlaluan. Pasti ini disengaja, pelakunya pasti tergabung dalam sebuah sindikat." Isrtiku marah beneran.
"Sindikat atau  mafia Ma? Jangan baper lah cuma sandal kepotong begitu, mana laku, siapa yang mau?" Aku kok jadi geli,  ada-ada saja istriku ini. Kebanyakan nonton sinetron jadi lebay.
"Ini pasti konspirasi Pa!"