Mohon tunggu...
Nurias Nurias
Nurias Nurias Mohon Tunggu... Administrasi - Sedang Belajar Nulis

I am a student of my life

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Back to Campung", Solusi Kemacetan

15 Februari 2019   13:35 Diperbarui: 15 Februari 2019   13:33 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ini hnyalah sebuah opini tentang bagaimana mengatasi kemacetan, Yaa caranya dengan pertanian.

Bagaimana caranya?

Penyebab seseorang berurbanisasi menurut ilmu geografi adalah tidak adanya lapangan kerja di desa alias lebih banyak lapangan kerja di kota dibanding desa sehingga pendapatan merasa tak cukup, atau bisa juga karena keinginan diri merasakan kehidupan kota dalam hal ini prasarana dan saranalebih memadai jika hidup kota misalnya bidang pendidikan, kesehatan dan berharap kesejahteraan akan lebih baik.

Salah satu dampak dari urbanisasi adalah kemacetan karena meledaknya pertumbuhan peduduk di kota. Contoh permasalan kemacetan yaa di kota-kota besar salah satunya Jakarta.  Pada tahun 2018 ada 111 juta kendaraan semua jenis di Jakarta, jika semuanya beroperasi maka Jakarta akan menjadi lautan kendaraan, tapi tidak mungkin semua kendaraan beroperasi secara bersamaan.

Masalah kemacetan menjadi masalah klasik bagi kebanyakan kota besar, belum lagi kesadaran para pengguna jalan yang minim membuat kemacetan susah untuk diselesaikan meskipun berbagai upaya telah dilakukan misalnya pengadaan bus yang meminimalisir penggunaan kendaraan tapi ego dan emosi masih mengalahkan diri. 

Sebenarnya kemacetan itu bisa diatasi dengan pertanian. Menapa harus pertanian, karena bidang itulah satu-satunya yang dapat memberikan solusi terbaik. Bagaimana caranya? 

Mari beropini.

Sebab seseorang pergi ke kota karena tak adanya lapangan pekerjaan di desa. Dalam hal ini saya melihat bukan tidak ada lapangan pekerjaan, hanya saja jika menjadi petani banyak faktor lain di kepala, seperti tak ingin kotor mungkin (presepsi jeleknya) atau bisa jadi memang tak menjanjikan, mereka melihat pertanian sebagai pekerjaan bawah yang seolah-olah rendahan sekali, bahkan tak banyak diminati, jadilah untuk mengubah hidup di kampung, pergi ke kota adalah solusi terbaik. 

Lalu di kota mereka menjadi kuli, bagi yang hanya lulusan sekolah SD-SMP, yaa bisa juga IRT lebih bagus sedikit pelayan restoran, tapi sekarangpun pelayanan kafe terkadang harus punya ijazah SMA bahkan S1. 

Sementara karena tergiur dengan kalimat "di kota mah apa aja jadi duit, pemulung pun jadi" jadilah mereka berbondong-bondong dengan harapan mendapat sesuatu yang bisa dibawa pulang saat pulang kampung. 

Padahal jika dilihat potensi pertanian di Indonesia sangat menjanjikan, luas lahan produktifnya 7,1 juta hektar tahun 2018, belum lagi lahan-lahan yang masih bisa di produktifkan, khusunya di kampung yang belum banyak pembangunan, jika dikelola dengan baik pasti menghasilkan keuntungan, tanahnya subur seperti dalam lagu, tanam tongkat pun jadi tanaman"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun