Mohon tunggu...
Nur Fajar Absor
Nur Fajar Absor Mohon Tunggu... Dosen - Penulis Pemula

Dosen, Sejarawan, dan Penulis Artikel. Email: nurfajarabsor@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Komedi sebagai Media Kritik: Suatu Tinjauan Historis

4 Juli 2020   11:26 Diperbarui: 4 Juli 2020   11:16 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Adegan tersebut menggambarkan bahwa saat itu perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia lebih memilih orang asing dibandingkan orang Indonesia dalam hal pekerjaan, padahal belum tentu orang asing tersebut lebih hebat, karena gengsi, maka dari itu perusahaan-perusahaan di Indonesia lebih mempercayakan orang asing untuk bekerja di perusahaannya. Tidak aneh, saat itu dikenal istilah Asing, Aseng, dan Asong.

Memasuki periode 2010-an, format komedi secara grup mulai berganti dengan format tunggal atau biasa disebut stand up comedy. Hal ini penulis lihat tidak terlepas dari dialektika Hegel, karena sebelum periode 2010-an masyarakat Indonesia cenderung diberikan komedi-komedi berbau physical comedy yang meledek lawan bicara yang memiliki kekurangan fisik, semisal 'Gigi lu offside'. Jenuh dengan hal tersebut, ketika ada format baru, yakni stand up comedy yang menggunakan diksi-diksi dalam penyampaian humornya, membuat masyarakat Indonesia menggandrungi format baru tersebut.

Para komika -sebutan untuk pelawak tunggal- tersebut juga biasanya menyelipkan kritikannya melalui materi humor yang dibawanya. Kritikan tersebut lazimnya mengkritik kondisi sosial yang ada di Indonesia, semisal pembangunan di Indonesia Timur yang tidak merata. Namun, ketika yang dibicarakan adalah kritik politik, sepertinya elite-elite yang ada di Indonesia belum siap dengan hal tersebut. Hal ini ditandai dengan tudingan yang dituding berasal dari buzzer yang diarahkan kepada Bintang Emon dan tindakan represif pihak berwajib terhadap Ismail Ahmad. Meski demikian, ada kalanya humor tersebut malah tidak lucu dan menimbulkan 'kontroversi' ketika yang melawak adalah Mahfud MD yang pada medio Mei 2020 berkelakar mengenai 'Corona is Like Your Wife' yang penulis pandang berbau seksis dan misoginis, yakni kebencian terhadap perempuan.

Penutup

Tulisan yang ada di atas memperlihatkan bahwa komedi dapat dijadikan media kritik, baik itu dari segi sosial maupun politik. Namun, ketika berbicara politik, memang perlu pendewasaan dari berbagai pihak dalam menyikapinya, agar kasus seperti Bintang Emon maupun Ismail Ahmad tidak terulang kembali, supaya ruang kebebasan berekspresi di Indonesia terbuka lebar. Di akhir tulisan, penulis jadi teringat slogan khas Warkop DKI: 'Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang'.

Referensi

Bernie, M. (2020). Kasus Bintang Emon, Ketika Komedi Dibungkam Teror. Retrieved from tirto.id website: https://tirto.id/kasus-bintang-emon-ketika-komedi-dibungkam-teror-fH3V

Damono, S. D. (2013). Hujan Bulan Juni. Editum.

Indonesia, C. (2020). Kronologi Kritik Bintang Emon Berujung Serangan di Medsos. Retrieved from cnnindonesia.com website: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200616104226-20-513754/kronologi-kritik-bintang-emon-berujung-serangan-di-medsos

Nastiti, L. N. (2014). Kritik Sosial dalam Komedi (Studi Kasus Stand-Up Comedy di Kalangan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta). Universitas Negeri Jakarta.

Nurhuda, H. C., & Liana, C. (2014). Kritik Sosial Dalam Film Komedi Warkop DKI Tahun 1980-1994. Avatara, 2(3), 48--60.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun