Kemarin aku mendapat kesempatan untuk berbagi bersama guru dan orang tua di TK Islam At Taqwa Daksinapati, Rawamangun, Jakarta Timur. Suasananya hangat, penuh tawa, tapi juga reflektif. Tema yang kami angkat bukan sekadar pendidikan biasa---melainkan tentang mengenali diri, mengenali anak, dan menciptakan ekosistem belajar yang selaras dengan fitrah dan potensi dengan STIFIn Learning. Metode pemetaan kecerdasan tunggal berbasis neurosains ini sudah cukup dikenal, terutama di kalangan orang tua muda yang mulai sadar pentingnya memahami anak sejak dini. Tapi menariknya, dalam forum itu muncul satu kenyataan yang cukup menyentuh: beberapa anak ternyata sudah dites STIFIn, tapi justru orang tuanya belum.
Seketika suasana jadi lebih hening. Muncul gumaman pelan: "Iya ya... gimana mau mengarahkan anak kalau kita belum tahu cara kerja otak kita sendiri?"
Dan di situlah perenungan dimulai.
Kenal Anak Itu Penting, Tapi Kenal Diri Itu Fondasinya
Bayangkan seorang ibu yang anaknya tipe Feeling--Introvert (Fi). Si kecil cenderung peka, penuh perasaan, dan butuh pendekatan lembut. Tapi ibunya sendiri mungkin Thinking--Ekstrovert (Te)---logis, to the point, dan suka bergerak cepat. Tanpa kesadaran diri, pola asuh yang diberikan bisa terlalu keras atau "berorientasi hasil", padahal anaknya butuh validasi emosi dan ruang untuk mengolah perasaannya.
Saat orang tua belum mengenal dirinya sendiri, cara pandang terhadap anak seringkali terbatas. Akhirnya, arahan yang diberikan tidak benar-benar mengangkat potensi anak, malah kadang menekan.
STIFIn mengajak kita untuk berhenti menebak. Ia memberi peta: tentang diri kita, dan anak kita. Dan peta ini bukan sekadar label, tapi petunjuk arah hidup.
Saat Data dan Ilmu Bertemu Praktik di Sekolah
Apa yang kami diskusikan di At Taqwa bukan hanya asumsi. Berbagai sekolah yang sudah menerapkan STIFIn menunjukkan hasil yang konsisten dan menjanjikan.
SD Uswatun Hasanah di Cilegon, yang menjadikan STIFIn sebagai dasar untuk menyusun kegiatan belajar siswa. Guru-guru di sana menyesuaikan metode pengajaran berdasarkan hasil tes mesin kecerdasan siswa. Anak yang tipe Sensing diberikan aktivitas konkret dan praktis; yang Intuiting diajak eksplorasi ide dan visualisasi.
Di SD Alam Insan Kamil Gowa, STIFIn bahkan digunakan sebagai alat membentuk karakter: disiplin, tanggung jawab, dan kemandirian dibangun berdasarkan pendekatan personal. Hasilnya? Anak tidak hanya berkembang secara akademis, tapi juga secara psikologis.