Mohon tunggu...
nurfadhilah rauf
nurfadhilah rauf Mohon Tunggu... Dosen, Konsultan Keluarga, Kesehatan dan Pendidikan

Licensed Promotor STIFIn Family

Selanjutnya

Tutup

Financial

Data, Dapur, dan Masa Depan Keluarga: Cerita di Balik Angka

3 Juli 2025   13:25 Diperbarui: 3 Juli 2025   13:25 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah catatan dari Ibu Nurhayana, Pengurus Aisyiyah Daerah Kota Bekasi

Di sebuah dapur sederhana, seorang ibu menakar beras sambil berpikir: cukup atau tidak sampai akhir minggu? Di ruang sebelah, anak remaja memegangi perutnya yang keram saat haid, tapi tak bilang apa-apa. Kakek di teras hanya minum air putih, karena teh manis sudah dianggap kemewahan.

Cerita seperti ini bukan fiksi. Mereka nyata, tersebar di jutaan rumah di Indonesia. Kini, kita punya datanya: 72.182.781 keluarga tercatat dalam pendataan PK21 oleh BKKBN. Dan di balik data itu, bukan hanya urusan kesehatan dan kependudukan---tapi juga soal keuangan rumah tangga.

Angka Tak Pernah Bohong, Tapi Butuh Ditafsirkan

  • 40,4 juta pasangan usia subur

  • 3,5 juta keluarga dengan bayi usia 0--2 tahun

  • 8,8 juta keluarga dengan balita

  • 36,6 juta dengan remaja 10--24 tahun

  • 21 juta memiliki lansia

  • 11,5 juta kepala keluarga adalah perempuan

Data ini menunjukkan: mayoritas keluarga Indonesia punya beban ganda---mengasuh anak sekaligus merawat orang tua. Dan semua itu butuh biaya. Sayangnya, banyak keluarga menghadapi pilihan sulit setiap hari: beli lauk bergizi atau isi ulang gas, bayar pulsa sekolah daring atau beli vitamin, beli obat cacing atau bayar cicilan motor.

Gizi Itu Soal Isi Piring dan Isi Dompet

Pencegahan stunting bukan hanya soal tahu makanan sehat. Tapi juga soal mampukah keluarga membeli telur dan sayur setiap hari? Banyak ibu tahu pentingnya gizi, tapi ketika uang hanya cukup untuk nasi dan garam, edukasi tak akan cukup. Itulah mengapa kebijakan bantuan pangan dan edukasi gizi harus menyasar keluarga berpenghasilan rendah secara langsung.

Remaja Perempuan, Uang Jajan, dan Tablet Tambah Darah

Remaja yang anemia tak selalu karena malas makan. Kadang karena uang jajan hanya cukup untuk gorengan, bukan makanan bergizi. Anemia pada remaja putri bisa berdampak panjang: lemas, kurang fokus, hingga risiko komplikasi saat hamil kelak. Maka program seperti pemberian TTD gratis di sekolah harus dijaga keberlanjutannya, bukan dihentikan saat anggaran ketat.

Kepala Keluarga Perempuan, Pengatur Strategi Ekonomi Keluarga

Di 11,5 juta keluarga, ibu adalah kepala keluarga. Mereka mengatur segalanya: dapur, pendidikan, biaya berobat, hingga utang tetangga. Saat penghasilan tak menentu, mereka juga yang menanggung beban ganda. Itulah kenapa penting untuk mendukung perempuan dalam UMKM, pelatihan digital, dan akses bantuan modal. Jangan hanya mengajarkan menabung jika tak ada yang ditabung.

Lansia di Tengah Krisis Ekonomi

21 juta keluarga punya lansia. Di keluarga miskin, lansia kadang tak jadi prioritas. Mereka rela mengalah agar cucunya makan. Tapi saat sakit, siapa yang membiayai? Program JKN/KIS jadi krusial di sini, juga layanan posyandu lansia yang bisa meringankan biaya berobat dan menjaga kualitas hidup mereka.

Implikasi: Data Harus Menjadi Dasar Anggaran, Bukan Sekadar Arsip

Pemerintah punya data luar biasa ini. Tapi jika tidak dihubungkan dengan dukungan ekonomi keluarga, maka kebijakan akan meleset.

  • Program bantuan langsung tunai harus menyasar rumah tangga dengan beban ganda (punya anak dan lansia).

  • Penyuluhan gizi harus dibarengi subsidi pangan bergizi lokal.

  • Obat cacing dan TTD perlu diberikan gratis di area rawan, bukan hanya sekadar dianjurkan.

  • Perempuan kepala keluarga harus dijadikan target khusus dalam program ekonomi mikro.

Akhir Kata: Kesehatan Itu Tidak Netral dari Ekonomi

Kesehatan keluarga bukan cuma urusan dokter dan puskesmas. Ia terkait erat dengan isi dompet, kondisi dapur, dan pilihan ekonomi harian. Maka data 72 juta keluarga ini harus menjadi titik awal perubahan: dari angka ke empati, dari empati ke kebijakan yang adil.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun