Di sebuah dapur sederhana, seorang ibu menakar beras sambil berpikir: cukup atau tidak sampai akhir minggu? Di ruang sebelah, anak remaja memegangi perutnya yang keram saat haid, tapi tak bilang apa-apa. Kakek di teras hanya minum air putih, karena teh manis sudah dianggap kemewahan.
Cerita seperti ini bukan fiksi. Mereka nyata, tersebar di jutaan rumah di Indonesia. Kini, kita punya datanya: 72.182.781 keluarga tercatat dalam pendataan PK21 oleh BKKBN. Dan di balik data itu, bukan hanya urusan kesehatan dan kependudukan---tapi juga soal keuangan rumah tangga.
Angka Tak Pernah Bohong, Tapi Butuh Ditafsirkan
-
40,4 juta pasangan usia subur
3,5 juta keluarga dengan bayi usia 0--2 tahun
8,8 juta keluarga dengan balita
36,6 juta dengan remaja 10--24 tahun
21 juta memiliki lansia
11,5 juta kepala keluarga adalah perempuan
Data ini menunjukkan: mayoritas keluarga Indonesia punya beban ganda---mengasuh anak sekaligus merawat orang tua. Dan semua itu butuh biaya. Sayangnya, banyak keluarga menghadapi pilihan sulit setiap hari: beli lauk bergizi atau isi ulang gas, bayar pulsa sekolah daring atau beli vitamin, beli obat cacing atau bayar cicilan motor.
Gizi Itu Soal Isi Piring dan Isi Dompet
Pencegahan stunting bukan hanya soal tahu makanan sehat. Tapi juga soal mampukah keluarga membeli telur dan sayur setiap hari? Banyak ibu tahu pentingnya gizi, tapi ketika uang hanya cukup untuk nasi dan garam, edukasi tak akan cukup. Itulah mengapa kebijakan bantuan pangan dan edukasi gizi harus menyasar keluarga berpenghasilan rendah secara langsung.
Remaja Perempuan, Uang Jajan, dan Tablet Tambah Darah
Remaja yang anemia tak selalu karena malas makan. Kadang karena uang jajan hanya cukup untuk gorengan, bukan makanan bergizi. Anemia pada remaja putri bisa berdampak panjang: lemas, kurang fokus, hingga risiko komplikasi saat hamil kelak. Maka program seperti pemberian TTD gratis di sekolah harus dijaga keberlanjutannya, bukan dihentikan saat anggaran ketat.
Kepala Keluarga Perempuan, Pengatur Strategi Ekonomi Keluarga
Di 11,5 juta keluarga, ibu adalah kepala keluarga. Mereka mengatur segalanya: dapur, pendidikan, biaya berobat, hingga utang tetangga. Saat penghasilan tak menentu, mereka juga yang menanggung beban ganda. Itulah kenapa penting untuk mendukung perempuan dalam UMKM, pelatihan digital, dan akses bantuan modal. Jangan hanya mengajarkan menabung jika tak ada yang ditabung.
Lansia di Tengah Krisis Ekonomi
21 juta keluarga punya lansia. Di keluarga miskin, lansia kadang tak jadi prioritas. Mereka rela mengalah agar cucunya makan. Tapi saat sakit, siapa yang membiayai? Program JKN/KIS jadi krusial di sini, juga layanan posyandu lansia yang bisa meringankan biaya berobat dan menjaga kualitas hidup mereka.
Implikasi: Data Harus Menjadi Dasar Anggaran, Bukan Sekadar Arsip
Pemerintah punya data luar biasa ini. Tapi jika tidak dihubungkan dengan dukungan ekonomi keluarga, maka kebijakan akan meleset.
Program bantuan langsung tunai harus menyasar rumah tangga dengan beban ganda (punya anak dan lansia).
Penyuluhan gizi harus dibarengi subsidi pangan bergizi lokal.
Obat cacing dan TTD perlu diberikan gratis di area rawan, bukan hanya sekadar dianjurkan.
Perempuan kepala keluarga harus dijadikan target khusus dalam program ekonomi mikro.
Akhir Kata: Kesehatan Itu Tidak Netral dari Ekonomi
Kesehatan keluarga bukan cuma urusan dokter dan puskesmas. Ia terkait erat dengan isi dompet, kondisi dapur, dan pilihan ekonomi harian. Maka data 72 juta keluarga ini harus menjadi titik awal perubahan: dari angka ke empati, dari empati ke kebijakan yang adil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI