Mohon tunggu...
Nur Baiti
Nur Baiti Mohon Tunggu... -

Writer, financial advisor, trainer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Syariah, Pilihan Tepat di Saat Krisis

6 Desember 2013   01:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:16 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebangkitan ekonomi islam mulai menampakkan geliatnya. Tak kurang di negara-negara Eropa dan Amerika, bermunculan islamic bank, islamic finance, insurance dan lain sebagainya.

Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia juga mengalami hal serupa. Bank syariah, pembiayaan dan kredit syariah, serta beragam layanan ekonomi berbasis syariah lainnya bermunculan.

Pesona ekonomi syariah semakin berkembang. Di tengah rupiah yang semakin melemah, kredit yang merangkak naik, masyarakat mencari alternatif baru sebagai sandaran. Ekonomi syariah adalah jawabannya. Ketahanan sistem ini, telah terbukti tangguh saat menghadapi gejolak ekonomi bertahun silam.

Kenapa ekonomi syariah? Apa manfaat yang didapat oleh masyarakat? Apa bedanya dengan sistem konvensional yang berlaku selama ini?

Syariah adalah sebuah sistem ekonomi islam, berdasarkan Al-quran dan hadits sebagai rujukan. Namun, bukan berarti sistem ini hanya khusus diperuntukkan untuk umat muslim saja. Syariah adalah sistem terbuka yang menguntungkan semua pihak.

Di antara sistem ekonomi yang sekarang banyak dilirik adalah asuransi. Kesadaran akan pentingnya perlindungan di tengah masyarakat menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dengan semakin banyaknya perusahaan asuransi yang beroperasi di Indonesia, terutama asuransi jiwa dan kesehatan.

Namun sebagian masyarakat, terutama yang peduli dengan ketenangan batin bertanya-tanya, apakah asuransi ‘halal’? bukankah jika kita mendapat klaim, kita diuntungkan karena mendapat santunan tanpa usaha apa pun? Sementara jika sampai berakhirnya masa kontrak tidak terjadi resiko, perusahaan yang diuntungkan? Tidakkah itu termasuk judi?

Lantas bagaimana dengan asuransi plus investasi? Halalkah nilai tunai yang didapat oleh nasabah? Bukankah semuamusibah terjadi atas kehendak Allah, sehingga kita hanya perlu bertawakal dan berserah sepenuhnya? Ikhlas?

Bagaimana sistem asuransi syariah menjawab hal ini?

Pertama, perlu didefinisikan kembali apa yang sesungguhnya dilindungi oleh asuransi. Pengertian ‘asuransi jiwa’ sebagai terjemahan dari ‘Life Insurance’ bisa dikatakan kurang tepat. Secara bebas, life insurance bisa diartikan sebagai asuransi kehidupan. Sebab bagaimana pun, kita sepakat, bahwa ‘jiwa’ atau ‘nyawa’ tidak bisa dibeli dengan harga berapa pun.

Lalu apa yang sebenarnya dilindungi oleh asuransi? Asuransi meng-cover ‘nilai ekonomi’ seseorang saat terjadi musibah. Misalnya seorang pedagang yang jatuh sakit, dalam hal ini ia kehilangan nilai ekonominya karena harus dirawat di rumah sakit. Inilah yang dilindungi oleh asuransi dalam bentuk santunan atau uang pertanggungan.

Apakah asuransi sama dengan judi? Tidak. Sebab asuransi syariah, akadnya telah diubah menjadi akad tabarru’.

Mari kita perjelas. Asuransi konvensional memakai akad tijarah atau jual beli. Nasabah atau pemegang polis membeli perlindungan kepada perusahaan. Jika terjadi resiko berupa musibah, maka perusahaan akan membayarkan klaim kepada nasabah. Sebaliknya, jika tidak terjadi resiko sampai akhir masa kontrak, maka nasabah tidak mendapat apa pun, dan biaya asuransi yang masuk dari alokasi premi menjadi milik perusahaan sebagai keuntungan tambahan.

Hal yang berbeda berlaku di asuransi syariah. Dalam sisem ini, akad yang berlaku adalah akad tabarru’ atau tolong menolong sesama nasabah. Para nasabah merelakan sebagian uangnya untuk masuk ke cadangan klaim yang disebut dana tabarru’. Dana ini nantinya digunakan untuk membayar klaim nasabah lain yang terkena musibah.

Dengan demikian, secara tidak langsung, kita membantu nasabah lain. Tentunya hal ini sesuai dengan prinsip tolong menolong dan berjamaah dalam islam. Jika satu anggota tubuh sakit, yang lain ikut merasakan sakitnya. Saat nasabah yang satu terkena musibah, yang lain turut membantu melalui cadangan klaim atau dana tabarru’ tadi.

Lantas, bagaimana jika kita sehat atau tidak terjadi musibah? Jika demikian, maka cadangan klaim tadi akan dikembalikan kepada nasabah. Dalam hal ini perusahaan hanya berperan sebagai underwriting (penyeleksi resiko), collector (mengumpulkan premi) dan fund manager (pengelola keuangan). Tentu saja perusahaan juga mendapat keuntungan dengan adanya management fee dalam bentuk biaya administrasi dan pengelolaan.

Asuransi syariah juga harus terbebas dari unsur ‘MAGRIB’ yakni maysir, gharar dan riba. Inilah tolok ukur ‘kehalalan’ asuransi sehingga layak diberi label ‘syariah’.

Maysir atau judi telah hilang dengan sendirinya karena akad tabarru seperti yang telah dijelaskan di atas. Jika perusahaan mengadakan undian, hadiah tersebut tidak boleh sampai mengurangi hak nasabah lain.

Riba dalam asuransi bisa terjadi jika asuransi tersebut dikaitkan dengan investasi atau yang kini lazim disebut sebagai unit link. Karena itu, perusahaan asuransi hanya boleh mengelola dana nasabah di instrumen investasi yang telah dinyatakan ‘halal’ oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, misalnya sukuk, obligasi syariah, atau Jakarta Islamic Index di mana saham-saham yang termasuk di dalamnya, tidak satu pun terdapat perusahaan rokok, minuman keras, atau yang produk-produknya menimbulkan mudharat (keburukan).

Berasuransi tentu saja tidak lantas membuat kita terhindar dari musibah. Karena Allah sendiri berfirman : Tidak ada satu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin Allah. (QS. At-taghaabun : 11)

Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah SAW bersabda : Pergunakanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara : sehat sebelum sakit, muda sebelum tua, kaya sebelum miskin, lapang sebelum sempit dan hidup sebelum mati.

Jadi membeli asuransi syariah hanyalah bentuk ikhtiar kita dalam mengelola keuangan. Sama seperti kisah Nabi Yusuf yang diceritakan dalam QS Yusuf ayat 43-49. Ayat ini menceritakan Nabi Yusuf AS yang membangun lumbung-lumbung gandum untuk persiapan masa paceklik. Sama halnya kita berjaga-jaga dengan mengunci pintu dan garasi, membawa ban cadangan dalam mobil,atau perahu sekoci dalam pelayaran. Bukankah Rasulullah sendiri pernah menegur seorang sahabat yang kehilangan tunggangannya karena dibiarkan begitu saja dengan mengatakan : “Ikat dulu, baru tawakal.”

Banyak orang bertanya, mengapa dalam hukum waris islam, wanita hanya mendapat setengah bagian dibanding laki-laki. Orang yang tidak mengerti menganggap ini sebagai bentuk diskriminasi. Padahal, hal ini dikarenakan harta milik wanita adalah untuk dirinya sendiri. Sedangkan seorang pria, harus membaginya sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada keluarga.

Kewajiban memenuhi nafkah ini, bahkan tidak hanya saat seorang laki-laki masih hidup, tapi bahkan saat ia sudah tiada. Ia harus memastikan taraf hidup keluarganya tetap sama. Sebagaimana diterangkan dalam ayat berikut :

Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu, dan meninggalkan istri, hendaklah berwasiat untuk istrinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya, dengan tidak menyuruh mereka pindah (dari rumahnya)… (QS Al Baqarah : 240)

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda :

Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu adalah lebih baik bagimu, dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan meminta-minta. (HR. Bukhari)

Kewajiban untuk mempersiapkan nafkah ini juga diingatkan Allah dalam Firman-Nya:

Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka… (QS An-Nisa : 9)

Dengan demikian, jelaslah bahwa segala sesuatu kembali kepada niat. Ibarat sebuah pisau, jika kita membeli pisau dan menggunakannya untuk memotong sayuran dan membuat masakan untuk keluarga, maka hal itu diperbolehkan, bahkan bisa berpahala. Sebaliknya. Jika kita menggunakannya untuk kejahatan, tentu diharamkan.

Begitu juga dengan asuransi. Jika kita niatkan untuk menolong sesama, syiar islam, perencanaan keuangan keluarga, mempersiapkan generasi unggul dengan dana pendidikan anak, atau menjaga kestabilan ekonomi dan kesejahateraan keluarga dalam sistem yang tidak melanggar nilai-nilai agama, maka asuransi syariah bisa dijadikan sebagai alternatif.

Wallahu alam bishawab.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun