"Mana yang kalian beli tadi? Cuma ini?" Kami semua terdiam. Menyaksikan meja buka puasa yang cuma ada sepiring kue putu ayu hijau. Itupun tak banyak, hanya 5 potong kue. Lalu datang mama mengangkat periuk nasi yang di alas koran, diletakkan mama di dekat meja makan, karena periuknya masih panas. Menyusul sepiring ikan dencis kaleng yang sudah mama sulap menjadi santapan lezat khas Minang, ditambah irisan bawang dan gilingan cabe. Menggugah selera dan mengetuk perut kosong yang belum berpenghuni dari sahur tadi.Â
Papa cuma diam, dan saat berbuka tak seiris kue pun yang disentuh papa. Setelah minum air hangat bersama, tangan kami langsung melahap kue di piring, 4 beradik. Sisa 1 kue. Dengan bangga kami menyerahkan untuk mama dan papa. Tapi beliau menolak. Dengan dalih, kami makan nasi saja.Â
Dulu, pikir hati memang papa sepemarah itu, sudah capek-capek minta antar papa ke pasar. Harus bawa mobil truk yang body nya besar. Sampai di pasar susah mencari tempat parkir, karena pasar sudah menjadi "pasa pabukoan", semacam bazar takjil yang ada di setiap daerah jika berbuka puasa. Setelah turun mobil, kami juga harus masuk dengan berdesak-desakan. Melihat makanan kanan kiri, pedagang yang sibuk melayani, penuh hiruk pikuk pasar  banjir takjil. Aku, sebagai sulung, menyusuri gerbang pasar, masuk ke lorong-lorong, hingga hampir sejam, karena susah bergerak. Akhirnya kembali naik mobil, jauh di ujung papa bisa parkir. "Sudah pa". Wajarlah sampai rumah papa bertanya, "cuma ini yang kalian beli?"
Waktu begitu cepat melahap hari demi hari, tahun demi tahun. Sekarang papa sudah pergi, ini tahun 13 tanpa papa. Setiap melihat putu ayu, seperti ada wajah papa di sana.Â
Putu ayu, berisi kenangan yang tak kan habis dikikis masa:
Perasaan bersalah,
karena rasa tak cukup memberikan yang terbaik untuk papa selama beliau hidup, masih sering melawan, masih sering tak mendengar, masih sering berburuk sangka pada papa. Padahal papa begitu sayang. Sayang seorang ayah dalam diam.
Ungkapan rindu,
Karena semasa papa hidup, bangku pendidikan sudah membawa kami merantau, khas orang Minang. Banyak waktu yang sudah dilahap rindu, habis terbuang saat masih ada papa.
Tanpa banyak kata,
Papa orangnya pendiam. Tak banyak ucap. Tapi sekali bicara, kami akan dengarkan. Walaupun ya masih dengan gaya anak-anak, kadang banyaklah tak patuhnya.
Untuk yang tercinta,
Papa bekerja sebagai kuli angkut pasir, bermodal truk tua peninggalan kakek. Tak lelah dari pagi buta datang ke kali, antrian dengan truk lain, menunggu pasir dimuat ke bak belakang truk. Lanjut membawa muatan pasir, diantar menuju desa jauh sesuai permintaan orang. Kadang pulang cuma membawa 30rb, bersihnya.
Apakah papa aman di sana,
Apa kabar papa di sana pa? Adalah papa berada di taman surga menanti hari berbangkit? Adakah papa lapang tanpa ada ikatan? Adakah papa terang tanpa ada kelam mencekam? Adakah papa bahagia tanpa ada belatung atau ular yang menerkam?
Yang terdalam,
Kasih papa begitu dalam, hingga sakitnya tidak jadi keluhnya. Saat papa pergi, hanya hitung jam berteman penantian terakhir. Papa pergi dengan cinta terdalam, semoga Allah SWT sedang melihat papa dengan mata cinta yang terdalam pula. Aamiin