Gaza kini menjadi luka terbuka yang menganga di tubuh peradaban manusia. Serangan demi serangan menghujam tanpa jeda, rumah menjadi abu, masjid menjadi reruntuhan, anak-anak menjadi angka statistik. Dunia menyaksikan, tapi tidak benar-benar melihat. Dunia berbicara, tapi tak ada yang berani bersuara lantang. Dari podium-podium megah, para pemimpin dunia menawarkan "solusi dua negara" seolah-olah selembar peta baru bisa menambal luka tujuh dekade penjajahan. Padahal, di balik slogan diplomatik itu, tersimpan pengkhianatan halus: pengakuan atas eksistensi penjajah, dan legitimasi terhadap perampasan tanah yang suci.
Di tengah kepungan bom dan embargo, tak satu pun negara benar-benar berdiri di sisi Gaza. Semua memilih posisi aman, menimbang untung rugi, bersembunyi di balik istilah "stabilitas regional." Padahal yang mereka sebut stabilitas itu berdiri di atas reruntuhan rumah, di atas tubuh anak-anak yang tak lagi punya tempat pulang.
Solusi dua negara lahir bukan dari niat tulus untuk membebaskan, tapi dari kelelahan menghadapi keteguhan rakyat Gaza. Ketika kekuatan senjata gagal menundukkan mereka, maka narasi diplomasi dijadikan peluru baru. Solusi dua negara hanyalah cara lain untuk mengatakan: "Berhentilah melawan, biarlah penjajah tetap berkuasa, asal kalian diberi sebidang tanah kecil untuk bertahan hidup." Ironinya, narasi semu ini disambut oleh sebagian pemimpin negeri-negeri Muslim mereka yang mestinya membela saudaranya, malah menjadi corong bagi ide yang mengerdilkan cita-cita pembebasan.
Padahal, mengakui solusi dua negara berarti mengakui pemangkasan tanah-tanah umat, melegitimasi pencaplokan yang sudah terjadi atas 70 hingga 80 persen wilayah Palestina. Inilah wajah dunia hari ini: kebenaran disulap jadi kompromi, penindasan dibungkus dengan diplomasi, dan keadilan diserahkan pada meja perundingan yang dikawal para penjajah.
Keadilan Tidak Bisa Dinegosiasikan
Dunia sibuk berdebat tentang "dua negara," tapi lupa bahwa yang satu bukan negara, melainkan koloni. Bagaimana mungkin ada perdamaian jika satu pihak hidup dengan kebebasan, sementara pihak lain dikurung di bawah blokade?. Bagaimana mungkin ada keadilan jika pelaku pembunuhan dinegosiasikan sejajar dengan korban?. Solusi dua negara adalah fatamorgana politik sebuah penundaan sejarah yang terus memperpanjang penderitaan.
Gaza tidak butuh simbol di peta, ia butuh kemerdekaan sejati: kebebasan untuk beribadah, untuk bernafas, untuk hidup tanpa ancaman rudal setiap pagi.
Kebangkitan yang Terarah, Bukan Amarah yang Meledak
Perlawanan umat tidak harus dibaca sebagai seruan kekerasan, melainkan kebangkitan kesadaran. Kesadaran bahwa penderitaan Gaza bukan isu regional, melainkan ujian moral bagi seluruh dunia Islam. Kesadaran bahwa penjajahan tidak bisa disembuhkan oleh kompromi, tapi oleh keberanian membangun sistem yang adil dan bermartabat.
Umat harus bergerak bukan dengan amarah tanpa arah, tetapi dengan strategi yang tajam. Membangun solidaritas ekonomi yang menekan agresor, memboikot perusahaan yang menodai kemanusiaan, menggugat pelanggaran hukum ke forum internasional, dan menyingkap kebohongan media global yang membungkam realitas Gaza. Gerakan umat harus menjelma menjadi gelombang kesadaran politik yang tak bisa diabaikan menembus batas negara, bahasa, dan ideologi palsu yang memisahkan kita dari saudara seiman di tanah suci itu.