[caption id="attachment_185806" align="aligncenter" width="400" caption="picture : berbagidarmawan.blogspot.com"][/caption]
Aku tidak tahu apakah ini rasa cinta yang akan disetujui Tuhan untuk dijalani sepanjang kehidupan dunia akhiratku kelak. Atau sebuah rasa yang sejenak hadir lalu akan pergi serupa debu, sebentar menempel, dibersihkan, lalu menjadi tiadalah ia, walaupun tiada debu yang benar-benar pergi ketika sudah dibersihkan sekalipun. Kuakui, ada getar yang bicara ketika ia bicara melalui tulisannya, bicara dalam gerak sikapnya, bicara dengan senyumnya, bicara dalam diamnya…
Ia mencintai senja, aku mencintai hadirnya pagi. Mungkin kami tiada saling bertemu dalam keindahan, mengingat kecenderungan kami adalah suatu alur yang terpisahkan. Ia pergi, aku datang. Selalu begitu, merotasi tiada henti. Kami diam ketika malam mulai bercerita tentang ketenangan dalam gelap. Ia melepas senjanya kepada malam, aku menanti kehadiran pagi dengan berteman malam. Entah apa ini sebuah kesamaan, sama-sama berhubungan dengan malam. Aku hanya memaksakannya menjadi sebuah alasan untuk kita mulai saling bicara. Membicarakan tentang malam mungkin, ahh.. itu pasti menyakitimu, malam jelas-jelas telah merenggut keindahan senja. Tapi senja itu tiada indah jika terjadi sepanjang hari, atau jika matahari tak terbenam perlahan mana ada keindahan senja, ahh aku mulai membuat banyak alasan imajinatif….
Huffh.. jadi baiknya kita membicarakan apa ?
Bagaimana kalau bicara tentang kemiripan matahari terbenam yang mendulang keindahan senja, serupa kan dengan kedatangan matahari yang juga menghias keindahan pagi? Aahh… masih saja aku mencari alasan. Mungkin baiknya aku tidur dan mulai ngelindur, berbicara denganmu tentang apapun…
,,,
Hari ini, ada workshop bincang buku "Perkara Mengirim Senja". Sebuah buku kumpulan cerpen yang diperuntukkan kepada sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Aku tahu kau akan hadir di sana, segala perkara senja akan serius kau perkarakan, itu katamu dalam email yang kuterima saat itu. Aku harus datang, aku akan melihatmu datang. Sekedar untuk melihat, kau baik-baik saja.
Aku sudah sampai, lima belas menit sebelum acara dimulai. Ahh.. kecepatan rupanya, masih sepi sekali. Namun, aku melihatmu sudah duduk di sudut ruangan, asik dengan sahabat setiamu, buku. Aku tersenyum, ketika kau sekilas mengarahkan pandangan padaku lalu kembali asik dengan sahabatmu.
Ehh.. dia lupa padaku?
Apa karena sekarang aku mengenakan jilbab?
Atau mungkin memang wajahku telah berubah drastis?
Ahh.. aku kan ndak operasi plastik…
Aku masih Riani…
,,,
Acara sudah dimulai, pesertanya memang sedikit ternyata. Yang meramaikan justru para penulisnya yang masih muda itu. Salut juga dengan para penulis muda itu, mereka mengapresiasi dan mendedikasikan karyanya untuk seorang penulis senior, Seno Gumira Ajidarma.
[caption id="attachment_185808" align="aligncenter" width="320" caption="sumber : hampirmati.wordpress.com"]

Melalui acara diskusi buku tersebut, aku jadi mengenal sedikit tentang sastrawan senior ini. Seno Gumira Ajidarma(lahir diBoston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958) adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalahAtas Nama Malam,Wisanggeni—Sang Buronan,Sepotong Senja untuk Pacarku,Biola tak berdawai,Kitab Omong Kosong,Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, danNegeri Senja. Beliau juga terkenal karena menulis tentang situasi di Timor Timur tempo dulu. Tulisannya tentang Timor-Timur dituangkan dalam trilogi buku Saksi Mata (kumpulan cerpen),Jazz, Parfum, dan Insiden(roman), danKetika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara(kumpulan esai). Duh, jadi ingin menikmati karya-karya beliau…
Acara sudah selesai, dan ketika aku menoleh di tempatmu duduk, kau sudah tidak ada. Ada getar yang sudah terpenuhi. Aku bahagia, sudah melihatmu hari ini...
Sebuah rasa,
Mungkin hanya akan menjadi pemanis waktu
Menjadikan waktu lebih indah untuk dinikmati
Mungkin juga akan menyakiti waktu
Menodai waktu dengan peta air mata terurai
,,,
Seindah apapun sebuah rasa,
Atau seburuk apapun sebuah rasa dalam hati saat ini,
Kelak juga akan berakhir
Menemui nadirnya takdir
Mungkin lebih baik menikmatinya dengan sederhana
Tidak berlebihan memaknai rasa
akan menhindarkan hati dari rasa sakit
….
Senja dan pagi tiada pernah bertemu
Namun masing-masing memberi esensi pada bumi
Saling meninggalkan jejak di bumi
Untuk diperkarakan pada masing-masing keindahannya
,,,
Senja melepas kepergian matahari,
Pagi mendendang kehadiran matahari
Mereka berdua ada dan meniadakan
Mungkinkah jika mereka saling memiliki?
Biarlah matahari yang menyampaikan jawabannya
….
________
sekedar fiksi pengantar mimpi :D
Salam...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI