Dalam tiga tahun terakhir ini, sampah telah menjadi persoalan utama lingkungan di Yogyakarta. Hal ini mencerminkan krisis dalam tata kelola limbah yang belum tertangani secara efektif. Timbunan sampah yang berlebihan serta kebijakan "buka tutup" Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Piyungan yang tidak efisien telah menciptakan kondisi darurat lingkungan (kumparan.com). Akibatnya, ruang-ruang publik, termasuk trotoar, jalan raya, serta area pemukiman, disebari sampah liar yang menebarkan bau busuk dan mencemari estetika kota.
Peningkatan volume sampah anorganik---terutama plastik, kaca, dan logam---menjadi perhatian utama karena sifatnya yang sulit terurai secara alami serta dampaknya yang merugikan lingkungan dalam jangka panjang. Ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan solusi pengelolaan yang efektif telah mendorong pengalihan tanggung jawab pengelolaan sampah kepada masyarakat secara mandiri. Arah kebijakan ini tercermin dalam Peraturan Gubernur DIY No. 16 Tahun 2021, yang lebih menitikberatkan pada upaya pengurangan dan penanganan sampah melalui pelibatan masyarakat serta pola kemitraan dengan dunia usaha. Sebagai bentuk implementasi di tingkat lokal, setiap RT diminta berkoordinasi dengan aparat desa/kalurahan untuk menyosialisasikan kebijakan pengelolaan sampah anorganik. Program ini diterapkan secara bertahap dengan melibatkan kelompok ibu-ibu di tingkat RT/RW sebagai motor penggerak dalam proses pemilahan, pengolahan, serta distribusi sampah anorganik menuju sistem daur ulang yang lebih sistematis dan berkelanjutan.
Dasawisma sebagai Solusi Alternatif: Pengelolaan Sampah Anorganik Berbasis Komunitas
Pengelolaan sampah anorganik berbasis kelompok dasawisma semakin relevan sebagai solusi dalam menghadapi permasalahan sampah di tingkat komunitas. Dasawisma, sebagai komunitas ibu-ibu yang secara struktural telah lama terbentuk di lingkungan masyarakat, memiliki potensi besar dalam menggerakkan perubahan perilaku terhadap pengelolaan sampah. Sampah rumah tangga, yang mayoritas berasal dari aktivitas konsumsi sehari-hari, merupakan bagian dari rutinitas ibu-ibu di rumah. Oleh karena itu, menumbuhkan kesadaran serta menggerakkan upaya pengelolaan sampah dari rumah hingga ke lingkungan sekitar bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan.
Dalam praktiknya, Dasawisma Melati 2 Kampung Besalen, Bantul, Yogyakarta, telah menjadi sampel yang patut diperhatikan dalam penerapan sistem pengelolaan sampah berbasis komunitas. Berbagai simulasi dan implementasi yang telah dilakukan oleh kelompok ini dapat menjadi role model bagi kelompok dasawisma lainnya di wilayah Yogyakarta. Berikut ini akan dikemukakan model pengelolaan sampah yang telah diterapkan serta sejumlah strategi pelengkap yang dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan sampah anorganik, sekaligus mengoptimalkan nilai ekonomi dan manfaat sosialnya bagi masyarakat.
A. Sosialisasi dan Partisipasi Model Penanganan Sampah
Pada tahap awal penerapan kebijakan pengelolaan sampah anorganik, Ketua Kelompok Dasawisma Melati 2 aktif mensosialisasikan gagasan ini kepada anggota kelompok. Ia membuka ruang diskusi untuk mencari alternatif penanganan sampah yang paling sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat. Dari berbagai masukan yang muncul, dua gagasan utama menjadi sorotan dan mulai dipertimbangkan untuk diterapkan.
Gagasan pertama mengedepankan konsep "Sedekah Sampah", di mana setiap anggota kelompok memilah dan mengumpulkan sampah anorganik dari rumah mereka. Sampah yang telah dipilah kemudian diangkut oleh petugas kelompok kecil pada minggu ketiga setiap bulannya untuk dijual kepada pembeli sampah. Hasil dari penjualan ini dikelola oleh kelompok Dasawisma dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, seperti kegiatan sosial atau pengembangan lingkungan. Model ini tidak hanya membantu mengurangi volume sampah rumah tangga, tetapi juga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah yang berkelanjutan dalam komunitas.
Sementara itu, gagasan kedua memberikan pendekatan yang lebih berorientasi pada manfaat ekonomi bagi individu. Dalam skema ini, setiap anggota, terutama ibu rumah tangga, memilah sampah yang memiliki nilai jual, kemudian menjualnya langsung kepada kelompok Dasawisma. Uang hasil penjualan tersebut dapat disimpan sebagai tabungan pribadi atau digunakan untuk membayar cicilan hutang. Pendekatan ini diyakini dapat menjadi motivasi tambahan bagi anggota yang memiliki keterbatasan ekonomi, sehingga mereka tidak hanya berkontribusi dalam pengelolaan lingkungan tetapi juga mendapatkan manfaat finansial secara langsung.
Kedua gagasan ini dikaji dengan mempertimbangkan keterlibatan aktif anggota dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi yang terbuka diharapkan dapat memperkuat legitimasi kebijakan yang diambil serta meningkatkan rasa memiliki dalam komunitas. Namun, dalam tahap awal pelaksanaan, gagasan pertama---"Sedekah Sampah"---lebih banyak mendapat dukungan. Sebagian besar anggota menilai bahwa konsep ini lebih sederhana untuk dijalankan, terutama mengingat keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki oleh kelompok Dasawisma.
Dengan adanya program ini, kelompok Dasawisma Melati 2 tidak hanya berupaya mengelola sampah secara lebih efektif, tetapi juga membangun kesadaran dan tanggung jawab kolektif dalam menjaga kebersihan lingkungan serta meningkatkan kesejahteraan anggotanya.