Mohon tunggu...
E. Niama
E. Niama Mohon Tunggu... Psikologi dan Pendidikan | Tentor Akademik | Penulis Lepas | Pengamat Kehidupan dan Pendengar Cerita | Serta Seorang Intuitive Thinker

Pengamat kehidupan yang percaya pada kekuatan kata. Sebagai lulusan Psikologi dan tentor akademik, saya terbiasa membaca dinamika manusia dari berbagai sisi. Menulis bagi saya adalah ruang kontemplasi sekaligus cara berbagi makna.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Artikel Utama

Kenapa AI Bisa Tulis Cerpen Lebih Bagus dari Manusia, tapi Gagal Paham Soal Cinta?

9 Juli 2025   12:51 Diperbarui: 21 Juli 2025   08:45 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Human VS AI (Image AI-generated by Freepik)

AI kini tak hanya menjawab soal matematika, membuat artikel ilmiah atau membuat presentasi bisnis. Ia sudah bisa menulis puisi, cerpen, bahkan surat cinta yang bikin pembaca terenyuh. Tapi ada satu pertanyaan yang menggantung di benak saya:

Bagaimana mungkin sebuah entitas tanpa hati bisa menulis kisah cinta yang menyentuh hati?

Saya pernah iseng meminta AI membuat cerita tentang cinta pertama. Hasilnya? Indah, terstruktur, penuh diksi puitis. Lucu, pikirku. Dunia makin canggih, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya sederhana dan sacral seperti mencintai, AI bisa membuat cerita dengan detailnya.

Siapa sangka kecerdasan buatan bisa menulis puisi, membuat cerpen, menciptakan lagu, bahkan melukis. Ia bisa meniru gaya penulisan Pramoedya, membuat dialog seolah ditulis oleh Ayu Utami, atau menyalin alur cerita yang terasa seautentik Eka Kurniawan. Tapi anehnya, semua tetap terasa hampa.

Kenapa?

AI Bisa Meniru Pola, Tapi Tidak Pernah Jatuh Cinta

AI seperti ChatGPT, Claude, atau Gemini bekerja dengan cara mempelajari pola. Ia membaca jutaan teks dan mencoba memahami, secara matematis, bagaimana kata bekerja. Kata demi kata, kalimat demi kalimat, semuanya dihitung, dianalisis, dan diprediksi.

Maka jangan heran jika cerpen buatan AI kadang terasa rapi, mengalir, bahkan puitis. Tapi di balik kepiawaian itu, selalu ada sesuatu yang kurang. Seperti surat cinta tanpa getaran detak jantung, seperti lagu patah hati tanpa dada yang sesak.

Karena pada akhirnya, AI tidak pernah tahu rasanya ditinggalkan. tidak pernah menunggu balasan pesan dengan jantung berdebar, tidak pernah mengalami malam-malam tanpa kabar. Tidak pernah mendengar kata "selesai" sambil mencoba menahan tangis di kafe yang terlalu ramai.

Cerita Itu Lahir dari Luka, Bukan Algoritma

Cerpen yang menyentuh, biasanya lahir dari pengalaman paling manusiawi: kehilangan, rindu, kecewa, atau harapan. Ia bukan sekadar narasi, tapi pengakuan jiwa. Dan untuk membuat pengakuan itu, seseorang harus pernah mengalami kehidupan yang tak selalu baik-baik saja.

AI tidak punya masa kecil yang getir. Tidak pernah takut ditolak. Tidak pernah merasa gagal menjadi anak yang diharapkan orang tua. Maka ceritanya, meski bisa sangat mirip, tetap tidak punya napas.

Cerpen sejati tidak hanya menyusun kalimat indah, tapi menelanjangi isi hati. Ia adalah semacam "pengakuan relung terdalam" yang tak bisa sembarang ditiru. AI bisa meniru gaya Pramoedya, tapi tidak tahu rasanya jadi orang tertindas. Bisa meniru puisi Sapardi, tapi tak paham makna kehilangan dalam keheningan.

Apakah Penulis Akan Punah?

Beberapa orang mulai khawatir. Jika AI bisa menulis cerpen, lalu apa gunanya manusia menulis?

Saya justru merasa sebaliknya: inilah saatnya kita kembali bertanya untuk siapa sebenarnya kita menulis? Jika selama ini menulis hanya untuk kejar traffic, untuk lomba, untuk dimuat media, maka mungkin kita memang sudah lama kehilangan nyawa dalam tulisan kita.

Menulis, buatku, adalah cara untuk berdamai. Menulis adalah ruang aman untuk mengakui: "Aku pernah gagal", "Aku masih mencintaimu", atau bahkan, "Aku tidak tahu harus apa lagi."

Itu bukan sesuatu yang bisa digantikan oleh mesin.

AI Tak Punya Hati, Maka Tak Punya Cinta 

Psikologi mengajarkan bahwa cinta bukan sekadar emosi, tapi relasi. Cinta lahir dari kelekatan, dari kebutuhan untuk dimengerti, dari rasa aman yang tumbuh pelan-pelan. Bukan sesuatu yang bisa disimulasikan oleh 175 miliar parameter.

AI bisa menjelaskan perbedaan cinta eros dan agape. Bisa merumuskan gaya cinta menurut Sternberg atau teori attachment. Tapi AI tak pernah gelisah menunggu balasan chat. Tak pernah menunggu seseorang pulang. Tak pernah menghapus nama seseorang dari playlist favorit.

Itulah kenapa AI bisa menulis tentang cinta, tapi tak pernah benar-benar mengerti cinta.

Antara Alat dan Ancaman

Saya tidak membenci AI. Bahkan, menggunakannya setiap hari. Untuk bantu merapikan naskah, membuat outline, atau mengusulkan ide judul yang lebih segar. Tapi saya tahu batasnya.

AI adalah alat. Ia akan tetap jadi alat selama kita tahu bahwa tulisan sejati tak cuma ditakar dari jumlah karakter atau akurasi gramatikal. Tulisan yang benar-benar menyentuh, biasanya muncul dari rasa yang tak bisa dijelaskan oleh rumus. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh manusia.

AI bisa jadi sangat membantu. Tapi kalau semua tulisan kita jadi hasil mesin, lalu di mana ruang bagi kegugupan, bagi typo karena jari gemetar, atau bagi kalimat yang tidak sempurna tapi jujur?

Cinta Masih Milik Kita

Mungkin justru ini yang harus kita rayakan: bahwa mesin bisa meniru segalanya, kecuali rasa. Mesin bisa menulis, tapi tidak pernah benar-benar memahami. Mesin bisa bercerita, tapi tidak pernah benar-benar hidup.

Dan selama cinta, kehilangan, pengharapan, dan kegagalan masih menjadi milik manusia. maka menulis akan tetap menjadi upaya paling tulus untuk mengabadikan hidup itu sendiri.

Memang benar. AI bisa menulis kisah tentang cinta. Tapi hanya kita yang tahu rasanya benar-benar mencintai dan dicintai. Dan mungkin, itu cukup untuk membuat kita tak perlu takut tergantikan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun