Cerpen sejati tidak hanya menyusun kalimat indah, tapi menelanjangi isi hati. Ia adalah semacam "pengakuan relung terdalam" yang tak bisa sembarang ditiru. AI bisa meniru gaya Pramoedya, tapi tidak tahu rasanya jadi orang tertindas. Bisa meniru puisi Sapardi, tapi tak paham makna kehilangan dalam keheningan.
Apakah Penulis Akan Punah?
Beberapa orang mulai khawatir. Jika AI bisa menulis cerpen, lalu apa gunanya manusia menulis?
Saya justru merasa sebaliknya: inilah saatnya kita kembali bertanya untuk siapa sebenarnya kita menulis? Jika selama ini menulis hanya untuk kejar traffic, untuk lomba, untuk dimuat media, maka mungkin kita memang sudah lama kehilangan nyawa dalam tulisan kita.
Menulis, buatku, adalah cara untuk berdamai. Menulis adalah ruang aman untuk mengakui: "Aku pernah gagal", "Aku masih mencintaimu", atau bahkan, "Aku tidak tahu harus apa lagi."
Itu bukan sesuatu yang bisa digantikan oleh mesin.
AI Tak Punya Hati, Maka Tak Punya CintaÂ
Psikologi mengajarkan bahwa cinta bukan sekadar emosi, tapi relasi. Cinta lahir dari kelekatan, dari kebutuhan untuk dimengerti, dari rasa aman yang tumbuh pelan-pelan. Bukan sesuatu yang bisa disimulasikan oleh 175 miliar parameter.
AI bisa menjelaskan perbedaan cinta eros dan agape. Bisa merumuskan gaya cinta menurut Sternberg atau teori attachment. Tapi AI tak pernah gelisah menunggu balasan chat. Tak pernah menunggu seseorang pulang. Tak pernah menghapus nama seseorang dari playlist favorit.
Itulah kenapa AI bisa menulis tentang cinta, tapi tak pernah benar-benar mengerti cinta.
Antara Alat dan Ancaman
Saya tidak membenci AI. Bahkan, menggunakannya setiap hari. Untuk bantu merapikan naskah, membuat outline, atau mengusulkan ide judul yang lebih segar. Tapi saya tahu batasnya.
AI adalah alat. Ia akan tetap jadi alat selama kita tahu bahwa tulisan sejati tak cuma ditakar dari jumlah karakter atau akurasi gramatikal. Tulisan yang benar-benar menyentuh, biasanya muncul dari rasa yang tak bisa dijelaskan oleh rumus. Dan itu hanya bisa dilakukan oleh manusia.
AI bisa jadi sangat membantu. Tapi kalau semua tulisan kita jadi hasil mesin, lalu di mana ruang bagi kegugupan, bagi typo karena jari gemetar, atau bagi kalimat yang tidak sempurna tapi jujur?