"Kamu harusnya bersyukur, masih banyak yang hidupnya lebih susah dari kamu."
Kalimat itu sering kudengar sejak kecil. Setiap kali aku menangis, merasa lelah, marah, atau bingung, respon yang datang bukan pelukan, tapi perbandingan. Bukannya dipeluk dan ditenangkan, aku malah merasa bersalah karena punya perasaan.
Aku jadi terbiasa memendam. Tersenyum saat sedih. Bilang "nggak apa-apa" padahal rasanya hancur.
Ucapan seperti ini terdengar sederhana. Niatnya baik, ingin menyemangati. Tapi di balik itu, ada makna yang dalam: perasaan tidak layak dirasakan, apalagi ditunjukkan.
Sejak kecil, banyak anak dibesarkan dengan kalimat-kalimat semacam ini. Saat menangis, mereka dibandingkan dengan yang "lebih menderita". Saat sedih, disuruh bersyukur. Saat takut, dikatai cengeng. Alih-alih dipeluk dan ditenangkan, mereka justru merasa bersalah karena memiliki perasaan. Dan tanpa sadar, mereka tumbuh jadi pribadi yang piawai memendam. Tersenyum saat hati terasa hancur. Bilang "nggak apa-apa" saat sebenarnya sangat terluka.
Contoh yang Dekat, Tapi Sering Terlewat
Toxic positivity dalam parenting bukan sesuatu yang jauh atau langka. Ia muncul dalam kalimat sehari-hari, terdengar ringan, tapi berdampak panjang.
Misalnya:
- Seorang anak jatuh dan menangis, tapi yang keluar justru, "Enggak apa-apa. Anak jagoan harus kuat."
- Anak cemas sebelum tampil di depan kelas, malah diberi, "Santai aja, biasa aja itu. Kamu bisa kok, masa takut sih?"
- Ketika anak kesepian atau frustrasi, dijawab, "Kamu harus belajar mandiri. Dulu ibu juga apa-apa sendiri."
Kalimat-kalimat ini tidak sepenuhnya salah. Tapi jika itu jadi pola yang terus diulang, anak akan menangkap pesan tersembunyi: bahwa emosi negatif harus disingkirkan, dan bahwa perasaan hanya boleh muncul jika menyenangkan.
Apa Itu Toxic Positivity dan Mengapa Berbahaya?
Di banyak keluarga, anak-anak tumbuh dalam suasana yang penuh kalimat positif. "Jangan sedih, ya, masih banyak yang lebih susah." "Kamu anak hebat, pasti bisa." "Ayo senyum lagi, jangan cemberut." Sekilas terdengar manis, bahkan terkesan mendidik. Tapi jika selalu diucapkan dalam momen sulit, lama-lama ada yang mengganjal.
Apa yang awalnya dimaksudkan sebagai penyemangat, bisa berubah menjadi penyangkalan. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai toxic positivity. kondisi ketika emosi negatif ditekan atau ditolak demi mempertahankan semangat positif yang tidak realistis.