Oleh Dr. Syamsul Yakin, M.A. (Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) dan Nur Hasanah (Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Topik mengenai hubungan antara Islam dan politik telah menjadi pusat perdebatan, terutama dalam kaitannya dengan munculnya gerakan dakwah radikal di media sosial. Perdebatan ini berpusat pada beberapa pertanyaan fundamental: sejauh mana misi kerasulan Nabi Muhammad memiliki dimensi politis? Apakah Islam adalah agama yang secara inheren terikat dengan tata kelola negara dan pemerintahan? Dan apakah Islam menyediakan kerangka kerja yang jelas mengenai sistem, bentuk, serta prinsip-prinsip pemerintahan?
Masing-masing pertanyaan ini memicu beragam pandangan yang membentuk lanskap pemikiran dalam studi Islam dan politik.
Kalangan sekuler cenderung memandang dunia politik sebagai ranah otonom yang bebas dari batasan-batasan keagamaan. Bagi mereka, politik adalah arena terbuka bagi partisipasi publik dan berbagai proses yang tidak terikat pada doktrin agama tertentu. Pandangan ini telah memicu perdebatan yang tak kunjung usai, terutama dengan pihak yang bersikukuh bahwa politik merupakan ruang publik yang justru sangat erat kaitannya dengan ajaran agama. Bahkan, ada pandangan yang menempatkan ulama sebagai kelompok yang paling representatif untuk mewujudkan posisi politik sebagai realisasi mutlak dari ajaran agama.
Melihat dinamika hubungan antara Islam dan politik, setidaknya dapat diidentifikasi tiga kelompok pemikiran utama.
Pertama, kelompok konservatif: Kelompok ini berpendapat bahwa ajaran Islam bersifat sangat komprehensif. Mereka meyakini bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan (habluminallah), tetapi juga hubungan antara sesama manusia (habluminannas) dalam segala aspek kehidupan, termasuk politik dan kenegaraan. Bagi mereka, Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad telah memberikan petunjuk yang jelas mengenai konsep khilafah (kepemimpinan Islam) dan tujuan ideal sebuah negara.
Tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi representasi aliran pemikiran ini antara lain Abu al-A'la al-Maududi, seorang pemikir Pakistan yang mengemukakan teori tentang hakimiyyah (kedaulatan Tuhan); Sayyid Quthb, seorang intelektual Mesir dari Ikhwanul Muslimin yang menekankan pentingnya penerapan syariat Islam secara kaffah; dan Hassan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin yang menyerukan reformasi Islam secara menyeluruh, termasuk dalam aspek politik.
Argumentasi utama mereka seringkali merujuk pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad di Madinah. Mereka menekankan bahwa Nabi tidak hanya berperan sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai kepala pemerintahan, panglima angkatan bersenjata, dan hakim. Hal ini, menurut mereka, dapat dipahami mengingat Madinah pada saat itu baru saja didirikan dan membutuhkan kepemimpinan yang terintegrasi. Sejarah mencatat bahwa kemampuan Rasulullah dalam menjalankan berbagai tugas kepemimpinan ini tidak hanya di Makkah dan Madinah tetapi juga dalam membangun kekuatan besar di Jazirah Arabia menjadi bukti konkret bahwa Islam memiliki dimensi politik yang kuat dan terorganisir.
Kedua kelompok liberal: Berlawanan dengan kelompok konservatif, kelompok liberal berpendapat bahwa Islam dan agama secara umum tidak memiliki hubungan langsung dengan urusan kenegaraan. Mereka meyakini bahwa agama dan negara harus dipisahkan agar keduanya dapat berkembang secara optimal tanpa saling membatasi. Bagi mereka, fungsi Nabi Muhammad hanyalah sebagai Rasul yang membawa risalah agama, bukan sebagai kepala negara atau pemimpin politik.
Para pendukung aliran ini antara lain Thaha Husein, seorang pemikir dan penulis Mesir yang dikenal dengan gagasan sekularismenya, dan Ali Abd al-Raziq, seorang ulama Mesir yang terkenal dengan bukunya "Al-Islam wa Usul al-Hukm" (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan) yang menolak klaim bahwa Islam mewajibkan bentuk pemerintahan tertentu seperti kekhalifahan. Mereka berargumen bahwa tidak ada dasar tekstual yang kuat dalam ajaran Islam yang secara eksplisit mengharuskan adanya sistem pemerintahan keagamaan.
Ketiga, kelompok modernis: Kelompok modernis muncul sebagai respons terhadap stagnasi pemikiran dalam dunia Islam dan berusaha menggabungkan tradisi Islam dengan prinsip-prinsip modernitas. Pemikir-pemikir terkemuka dari kelompok ini antara lain Jamaluddin al-Afghani, seorang aktivis dan pemikir Pan-Islamisme; Muhammad Abduh, seorang ulama dan reformis Mesir; serta Rasyid Rida, murid Muhammad Abduh yang melanjutkan gagasan reformasi.