Setiap 17 Agustus, langit Indonesia dipenuhi kibaran merah putih. Suara lagu kebangsaan bergema di lapangan-lapangan, sementara masyarakat bersuka cita dalam lomba rakyat: panjat pinang, balap karung, hingga gebuk bantal di atas sungai. Semangat kemerdekaan selalu hadir dengan gegap gempita, dari kota hingga pelosok desa.
Namun, di balik riuhnya perayaan, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah kemerdekaan sudah benar-benar diwujudkan dalam kehidupan bangsa, atau masih berhenti pada seremoni tahunan?
Simbol yang Menyala, Makna yang Kadang Redup
Upacara bendera, detik-detik proklamasi, dan lomba kemerdekaan memang menjadi simbol penting pengingat sejarah. Tradisi ini menjaga memori kolektif bahwa kemerdekaan diraih dengan darah dan air mata para pejuang.
“Seremoni itu penting, karena mengikat kita pada sejarah. Tapi kalau berhenti di seremoni saja, kita hanya merayakan kemerdekaan tanpa benar-benar menghidupinya,” ujar Dr. Siti Nurhaliza, pengamat sosial dari Universitas Indonesia.
Euforia 17 Agustus kerap menjadi puncak perayaan, tetapi selepas itu, tantangan kehidupan sehari-hari kembali menuntut jawaban nyata.
Realitas Bangsa: Merdeka, Tapi Masih Bercelah
Indonesia telah merdeka selama 79 tahun, namun pekerjaan rumah bangsa masih menumpuk.
Baca juga: Lebih Takut Baterai 1%, daripada Akhlak 0%?Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat kemiskinan per Maret 2025 mencapai 8,47%, atau sekitar 23,85 juta jiwa, menurun tipis dari 8,57% pada September 2024.
Angka ini menunjukkan adanya perbaikan, namun juga sekaligus alarm bahwa puluhan juta rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.