Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kemerdekaan, Antara Euforia Seremonial dan PR Bangsa

17 Agustus 2025   06:35 Diperbarui: 17 Agustus 2025   06:41 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gladi kotor upacara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 RI (Sumber: Liputan6.com/Lizsa Egeham)

Setiap 17 Agustus, langit Indonesia dipenuhi kibaran merah putih. Suara lagu kebangsaan bergema di lapangan-lapangan, sementara masyarakat bersuka cita dalam lomba rakyat: panjat pinang, balap karung, hingga gebuk bantal di atas sungai. Semangat kemerdekaan selalu hadir dengan gegap gempita, dari kota hingga pelosok desa.

Namun, di balik riuhnya perayaan, tersimpan pertanyaan mendasar: apakah kemerdekaan sudah benar-benar diwujudkan dalam kehidupan bangsa, atau masih berhenti pada seremoni tahunan?

Simbol yang Menyala, Makna yang Kadang Redup

Upacara bendera, detik-detik proklamasi, dan lomba kemerdekaan memang menjadi simbol penting pengingat sejarah. Tradisi ini menjaga memori kolektif bahwa kemerdekaan diraih dengan darah dan air mata para pejuang.

“Seremoni itu penting, karena mengikat kita pada sejarah. Tapi kalau berhenti di seremoni saja, kita hanya merayakan kemerdekaan tanpa benar-benar menghidupinya,” ujar Dr. Siti Nurhaliza, pengamat sosial dari Universitas Indonesia.

Euforia 17 Agustus kerap menjadi puncak perayaan, tetapi selepas itu, tantangan kehidupan sehari-hari kembali menuntut jawaban nyata.

Realitas Bangsa: Merdeka, Tapi Masih Bercelah

Indonesia telah merdeka selama 79 tahun, namun pekerjaan rumah bangsa masih menumpuk.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa tingkat kemiskinan per Maret 2025 mencapai 8,47%, atau sekitar 23,85 juta jiwa, menurun tipis dari 8,57% pada September 2024. 

Angka ini menunjukkan adanya perbaikan, namun juga sekaligus alarm bahwa puluhan juta rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Di ranah pemberantasan korupsi, Transparency International menempatkan Indonesia pada skor Indeks Persepsi Korupsi (CPI) 2024 sebesar 37/100, naik sedikit dari skor 34 pada 2023, dan berada di peringkat ke-99 dari 180 negara. 

Meski ada peningkatan, para pakar menilai perbaikan ini belum cukup signifikan, karena korupsi masih menjadi penyakit kronis yang melemahkan sendi bangsa.

Sementara itu, di sektor pendidikan, hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022 menempatkan Indonesia pada posisi yang masih jauh dari rata-rata global: matematika 366 (rata-rata 472), literasi 359 (rata-rata 476), dan sains 383 (rata-rata 485). Lebih dari itu, 82% siswa Indonesia belum mencapai level 2 dalam matematika, 75% di literasi, dan 66% di sains. 

Data ini menjadi peringatan keras bahwa kualitas pendidikan, fondasi utama kemerdekaan sejati, masih perlu diperjuangkan.

PR Besar Menuju Kemerdekaan Sejati

Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan, melainkan juga bebas dari kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan.

Beberapa hal mendesak yang harus menjadi fokus bangsa ke depan:

  • Pemerataan pembangunan, agar warga desa merasakan manfaat yang sama seperti warga kota.
  • Peningkatan kualitas SDM, dengan pendidikan dan pelatihan yang merata.
  • Pemberantasan korupsi, yang masih menjadi penyakit kronis bangsa.
  • Keberlanjutan lingkungan, agar Indonesia tetap hijau dan lestari untuk generasi berikutnya.

“Generasi muda harus memaknai kemerdekaan dengan karya nyata. Bukan sekadar ikut lomba 17-an, tapi membangun negeri lewat pendidikan, kreativitas, dan inovasi,” kata Andi Putra, Ketua OSIS salah satu SMA di Tasikmalaya, saat ditemui usai upacara kemerdekaan.

Merdeka Lahir Batin

Hari Kemerdekaan memang pantas dirayakan dengan penuh suka cita. Namun, lebih dari itu, kemerdekaan perlu ditanamkan dalam aksi nyata: bekerja dengan jujur, belajar dengan tekun, serta peduli pada sesama.

Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, pernah berpesan: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Pesan Bung Karno itu terasa relevan hingga hari ini. Bangsa Indonesia mungkin sudah merdeka secara politik, tetapi perjuangan melawan korupsi, kesenjangan, kebodohan, dan ketidakadilan masih panjang.

Merdeka bukan hanya soal berkibarnya Sang Saka Merah Putih di langit setiap Agustus, tetapi juga berkibarnya harapan di hati setiap rakyat.

Sudah 80 tahun Indonesia merdeka. Kini saatnya bangsa ini menjawab: apakah kita hanya puas dengan euforia seremoni, atau berani menuntaskan pekerjaan rumah besar untuk benar-benar merdeka lahir batin?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun