Kita menyebutnya pilihan, tapi benarkah itu milik kita sepenuhnya?
Kita hidup di zaman yang menjunjung tinggi kebebasan. Kita percaya bahwa kita adalah kapten dari kapal hidup kita sendiri, menentukan arah, membuat keputusan, dan memilih jalan mana yang akan kita tempuh.
Tapi sebuah pertanyaan sederhana bisa menggoyahkan semua keyakinan itu: apakah benar semua itu pilihan kita sendiri?
Banyak orang merasa “merdeka” hanya karena bisa memilih jurusan kuliah, pekerjaan, atau pasangan hidup. Tapi jika kita gali lebih dalam, ada begitu banyak keputusan besar yang ternyata lebih merupakan hasil dari desakan halus (atau terang-terangan) dari orang tua, norma sosial, tekanan ekonomi, atau sekadar karena “begitulah seharusnya.”
Maka timbul keraguan: kita hidup dalam kebebasan, atau sekadar menjalani hidup orang lain dengan baju kita sendiri?
Di Balik Pilihan, Ada Konstruksi Sosial
Coba ingat kembali, mengapa kamu memilih jurusan kuliahmu dulu? Karena kamu suka, atau karena katanya peluang kerjanya bagus?
Mengapa kamu bekerja di tempat sekarang? Karena merasa berkembang, atau karena “sayang kalau resign”? Mengapa menikah di usia sekian? Karena siap, atau karena takut ditanya terus saat lebaran?
Seringkali, keputusan yang kita anggap “pilihan pribadi” sebenarnya sudah disetir oleh template yang dibuat oleh masyarakat.
Kita dibesarkan dalam sistem yang (tanpa sadar) membisikkan bahwa sukses itu bekerja kantoran, menikah sebelum usia 30, punya rumah dan kendaraan pribadi. Siapa pun yang menyimpang, dianggap gagal atau aneh.