KDM juga mengklarifikasi bahwa dirinya tidak mengetahui secara teknis bahwa akan ada acara syukuran dalam bentuk pembagian makanan skala besar seperti itu. Namun demikian, sebagai tokoh publik dan tuan rumah, ia menyatakan bertanggung jawab secara moral atas peristiwa tersebut.
Sementara itu, informasi yang beredar menyebutkan bahwa acara ini turut melibatkan pihak pemerintah provinsi karena adanya sajian kuliner khas Jabar. Namun belum ada pernyataan resmi dari Pemprov Jabar mengenai keterlibatan mereka.
Refleksi Sosial: Pesta, Feodalisme, dan Rakyat Jelata
Tragedi ini membuka ruang diskusi yang lebih dalam mengenai relasi sosial antara kalangan elite dan rakyat.
Dalam banyak kasus, acara yang diklaim sebagai “hiburan rakyat” atau “pesta rakyat” diselenggarakan oleh tokoh publik atau pemegang kekuasaan untuk menunjukkan kedekatan dengan masyarakat. Namun tanpa manajemen yang matang dan pemahaman terhadap kebutuhan riil rakyat, acara seperti ini berpotensi membahayakan.
Fenomena ini mencerminkan sisa-sisa praktik feodalisme yang masih hidup di tengah masyarakat modern. Ketika kelompok elite mengatur acara dari atas tanpa dialog langsung dengan kebutuhan dan kondisi bawah, maka yang terjadi bukanlah pemberdayaan, melainkan pengumpulan massa yang rentan menjadi korban.
Belajar dari Tragedi: Niat Baik Saja Tidak Cukup
Kehadiran rakyat yang begitu antusias dalam acara tersebut menunjukkan satu hal penting: adanya kesenjangan sosial dan kebutuhan mendesak akan perhatian dan pemenuhan kebutuhan dasar.
Ketika warga sampai rela berdesak-desakan dan mengabaikan keselamatan demi mendapatkan makanan gratis, ini bukan hanya soal miskin secara ekonomi, tetapi juga refleksi ketimpangan sosial yang nyata.
Tragedi ini menjadi pengingat bahwa niat baik harus disertai dengan perencanaan matang, antisipasi risiko, dan empati mendalam terhadap kondisi masyarakat. Mengatur kerumunan bukan hanya soal teknis keamanan, tapi juga soal membaca realitas sosial dan psikologis rakyat.
Duka yang Harus Diingat