Menghadapi remaja sering kali menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dan guru. Di satu waktu mereka bisa begitu ceria dan terbuka, namun dalam sekejap berubah menjadi murung, tertutup, bahkan meledak-ledak tanpa alasan yang jelas.Â
Perubahan sikap yang tiba-tiba ini seringkali membuat orang dewasa geleng-geleng kepala.Â
Namun, di balik perilaku remaja yang membingungkan itu, ada proses biologis yang besar sedang berlangsung. Penelitian dalam bidang neurosains menunjukkan bahwa otak remaja sebenarnya masih dalam tahap perkembangan yang sangat kompleks.Â
Melalui artikel ini, kita akan mengupas mengenai apa yang sebenarnya terjadi di dalam otak remaja agar kita bisa lebih bijak dalam mendampingi mereka, bukan sekadar menghakimi.
Perkembangan Otak Remaja: Proses yang Belum Selesai
Banyak orang mengira otak manusia sudah sepenuhnya matang saat menginjak usia 12 atau 13 tahun. Faktanya, otak remaja baru mencapai kematangan penuh di usia sekitar 25 tahun.Â
Salah satu bagian otak yang paling lambat berkembang adalah prefrontal cortex, yaitu bagian yang bertanggung jawab atas perencanaan, logika, pengendalian emosi, dan pengambilan keputusan.
Sementara itu, sistem limbik, pusat pengatur emosi dan dorongan, berkembang lebih dulu. Akibatnya, remaja cenderung bertindak lebih emosional dan impulsif karena otaknya belum mampu "menginjak rem" secara sempurna.Â
Tak hanya itu, lonjakan dopamin di masa remaja membuat mereka sangat sensitif terhadap kesenangan, pencapaian, dan validasi sosial. Itulah sebabnya pengaruh teman sebaya terasa lebih penting daripada nasihat orang tua.
Mengapa Remaja Sulit Difahami?