"Barang siapa tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Luka yang Tak Kasatmata
Di ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat aman untuk tumbuh dan belajar, masih terdengar suara bentakan, cubitan, bahkan kadang tamparan.
Kekerasan di sekolah, baik fisik, verbal, maupun psikologis, masih kerap terjadi. Dan yang lebih memprihatinkan, masih dianggap "lumrah" sebagai bentuk kedisiplinan.
Di balik wajah murid yang menunduk diam, siapa tahu ada trauma yang mereka bawa pulang? Sayangnya, kekerasan ini sering tidak tercatat.
Ia menyelinap dalam bentuk hukuman fisik “ringan”, ejekan atas kesalahan sederhana, atau perlakuan merendahkan yang dibungkus dengan dalih “agar mereka kuat”. Padahal, dampaknya bisa jauh lebih dalam daripada yang terlihat.
Bentuk Kekerasan yang Sering Diabaikan
Kekerasan di lingkungan sekolah tidak selalu berbentuk tamparan. Bentakan di depan teman-temannya, ejekan saat anak tidak paham pelajaran, atau hukuman fisik karena terlambat bisa jadi penyebab timbulnya luka emosional jangka panjang.
Dalam laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023, tercatat lebih dari 30% kasus kekerasan terhadap anak terjadi di lingkungan sekolah; sebuah angka yang mengejutkan sekaligus menyedihkan.
Lebih ironis, sebagian besar pelaku kekerasan justru adalah mereka yang memiliki otoritas untuk mendidik: guru dan tenaga kependidikan. Di sinilah kekerasan menjadi paradoks; dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi pelindung dan teladan.