"Belum tidur?" Tiba-tiba sebuah chat masuk setelah aku membuat status "sulit tidur" di WhatsApp. Pesan dari Rara, teman satu kegiatan pelatihan dulu yang memang merupakan seorang psikolog klinis
“Ya nih, aku udah tiga malam begadang. Bukan karena kerjaan numpuk, tapi kayak... susah aja tidur. Padahal capek banget rasanya”
Pesanku terkirim pukul 00.17 dini hari. Jari sudah lelah menggulir layar, mata pedih, tapi kepala tetap gaduh. Beberapa menit kemudian, WhatsApp-ku berbunyi lagi.
“Itu insomnia, dan bisa jadi tubuh kamu lagi ngasih sinyal kalau ada yang belum selesai di dalam pikiran,” balasnya.
“Banyak orang kira insomnia itu cuma soal fisik. Padahal seringnya, itu jeritan dari psikis yang kelelahan.”
Dari percakapan itu, aku sadar; masalah sulit tidur tak bisa disederhanakan. Di balik mata yang tak kunjung terpejam, ada banyak hal yang perlu dibicarakan, dipahami, dan mungkin disembuhkan.
Insomnia, Fenomena yang Kian Umum
Masalah tidur seperti insomnia kini jadi cerita umum yang dialami banyak orang. Bahkan, menurut data dari World Health Organization (WHO), sekitar 1 dari 3 orang dewasa di dunia mengalami gangguan tidur, dan lebih dari setengahnya dipengaruhi faktor psikologis.
Pandemi yang memaksa banyak orang bekerja dari rumah, menghadapi ketidakpastian finansial, atau kehilangan orang terdekat, menjadi salah satu pemicu melonjaknya kasus insomnia di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Dalam percakapan selanjutnya, Rara menjelaskan bahwa insomnia memiliki bentuk dan penyebab yang berbeda-beda.