Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mendampingi Siswa Autis di Sekolah Reguler? Peran Guru Tak Boleh Biasa-Biasa Saja!

22 Mei 2025   08:00 Diperbarui: 22 Mei 2025   07:30 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Guru mendampingi siswa yang beragam (Sumber: freepik)

Inklusi bukan sekadar menerima anak autis di ruang kelas biasa. Di balik meja belajar, ada tantangan nyata yang tak bisa diselesaikan hanya dengan niat baik. 

Guru bukan hanya pengajar, tapi juga fasilitator, pendamping, dan penghubung antara dunia anak autis dengan lingkungan sekolah.

Lantas, cukupkah hanya jadi guru “biasa” di tengah kebutuhan luar biasa?

Tentu tidak! Dibutuhkan pemahaman, empati, dan strategi yang benar-benar hadir dari hati dan praktik nyata.

Ketika Kelas Reguler Menjadi Rumah Baru bagi Anak Autis

Pendidikan inklusif di Indonesia telah membuka pintu bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk mereka yang berada dalam spektrum autisme. Anak-anak ini hadir di kelas reguler dengan membawa keunikan masing-masing. 

Beberapa tampak pendiam dan sulit menatap mata, sementara yang lain bisa sangat aktif namun kesulitan memahami batas sosial. Tidak ada satu formula yang bisa berlaku untuk semua.

Di sinilah guru menjadi garda terdepan. Mereka bukan sekadar pengajar mata pelajaran, tetapi juga pemandu bagi anak untuk menemukan tempatnya di antara teman sebaya.

Peran Guru: Lebih dari Sekadar Mengajar

Menghadapi anak autis di kelas reguler menuntut peran guru yang multidimensional. Guru harus:

  • Memahami karakter anak secara individual
    Setiap anak autis memiliki kebutuhan yang berbeda. Ada yang sensitif terhadap suara bising, ada pula yang sulit duduk diam dalam waktu lama.

  • Menyesuaikan strategi mengajar
    Visual schedule, alat bantu komunikasi, atau pengulangan instruksi dengan bahasa sederhana bisa sangat membantu. Misalnya, menggunakan gambar untuk menjelaskan langkah-langkah dalam kegiatan harian.

  • Bekerja sama dengan guru pendamping khusus dan orang tua
    Kolaborasi ini penting untuk menyamakan persepsi dan strategi antara rumah dan sekolah.

Strategi Nyata di Kelas yang Inklusif

Beberapa pendekatan yang terbukti efektif antara lain:

  • Visual Schedule
    Jadwal bergambar membantu anak memahami urutan kegiatan dan mengurangi kecemasan.

  • Zona Tenang di Kelas
    Sebuah sudut khusus dengan bantal, buku, atau mainan sensori untuk anak yang perlu menenangkan diri.

  • Aktivitas Sosial Terstruktur
    Guru bisa melibatkan anak autis dalam kelompok kecil agar mereka belajar berinteraksi sosial secara bertahap.

  • Pujian Spesifik dan Penguatan
    Memberikan penghargaan dan penguatan atas usaha, kemajuan, bukan hanya hasil, dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa.

Satu Kisah, Seribu Makna

Bu Diah, seorang guru SD di Yogyakarta yang juga salah satu peserta kelas bimtek yang saya ampu, bercerita bahwa ia pernah mendampingi siswa autis berinisial "R". 

"R" awalnya tak bisa duduk lebih dari lima menit, sering berteriak, dan menolak menyentuh buku. 

Dengan kesabaran dan adaptasi bertahap—mulai dari penggunaan kartu bergambar, latihan duduk sambil memegang benda kesukaannya, hingga mengenalkan rutinitas dengan lagu—Raka akhirnya mampu mengikuti pelajaran lebih lama dan mulai tertarik membaca.

“Awalnya saya hampir menyerah,” kata Bu Diah. “Tapi setiap kemajuan kecil dari Raka terasa seperti kemenangan besar.”

Menjadi Guru Inklusif Adalah Pilihan Hati dan Niat Belajar

Menjadi guru bagi anak autis di kelas reguler memang bukan pekerjaan ringan. Tapi di balik tantangannya, tersimpan peluang besar untuk tumbuh sebagai pendidik yang tak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi dan memanusiakan. 

Guru yang inklusif tidak harus sempurna, tapi mereka harus mau terus belajar, mendengarkan, dan memeluk setiap keunikan dengan hati terbuka.

Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan nilai. Tapi tentang bagaimana kita membantu setiap anak—tak peduli bagaimana latar belakang atau kebutuhannya—untuk merasa dihargai, mampu, dan punya tempat di dunia ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun