"R" awalnya tak bisa duduk lebih dari lima menit, sering berteriak, dan menolak menyentuh buku.
Dengan kesabaran dan adaptasi bertahap—mulai dari penggunaan kartu bergambar, latihan duduk sambil memegang benda kesukaannya, hingga mengenalkan rutinitas dengan lagu—Raka akhirnya mampu mengikuti pelajaran lebih lama dan mulai tertarik membaca.
“Awalnya saya hampir menyerah,” kata Bu Diah. “Tapi setiap kemajuan kecil dari Raka terasa seperti kemenangan besar.”
Menjadi Guru Inklusif Adalah Pilihan Hati dan Niat Belajar
Menjadi guru bagi anak autis di kelas reguler memang bukan pekerjaan ringan. Tapi di balik tantangannya, tersimpan peluang besar untuk tumbuh sebagai pendidik yang tak hanya mengajar, tapi juga menginspirasi dan memanusiakan.
Guru yang inklusif tidak harus sempurna, tapi mereka harus mau terus belajar, mendengarkan, dan memeluk setiap keunikan dengan hati terbuka.
Karena pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal kurikulum dan nilai. Tapi tentang bagaimana kita membantu setiap anak—tak peduli bagaimana latar belakang atau kebutuhannya—untuk merasa dihargai, mampu, dan punya tempat di dunia ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI