Inklusi bukan sekadar menerima anak autis di ruang kelas biasa. Di balik meja belajar, ada tantangan nyata yang tak bisa diselesaikan hanya dengan niat baik.
Guru bukan hanya pengajar, tapi juga fasilitator, pendamping, dan penghubung antara dunia anak autis dengan lingkungan sekolah.
Lantas, cukupkah hanya jadi guru “biasa” di tengah kebutuhan luar biasa?
Tentu tidak! Dibutuhkan pemahaman, empati, dan strategi yang benar-benar hadir dari hati dan praktik nyata.
Ketika Kelas Reguler Menjadi Rumah Baru bagi Anak Autis
Pendidikan inklusif di Indonesia telah membuka pintu bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, termasuk mereka yang berada dalam spektrum autisme. Anak-anak ini hadir di kelas reguler dengan membawa keunikan masing-masing.
Beberapa tampak pendiam dan sulit menatap mata, sementara yang lain bisa sangat aktif namun kesulitan memahami batas sosial. Tidak ada satu formula yang bisa berlaku untuk semua.
Di sinilah guru menjadi garda terdepan. Mereka bukan sekadar pengajar mata pelajaran, tetapi juga pemandu bagi anak untuk menemukan tempatnya di antara teman sebaya.
Peran Guru: Lebih dari Sekadar Mengajar
Menghadapi anak autis di kelas reguler menuntut peran guru yang multidimensional. Guru harus: