Ia tertunduk. "Tapi belum satu pun yang panggil."
Aku menyeka peluh dan tersenyum. “Mungkin Allah sedang ubah arah. Bukan hilang, cuma dipindah jalurnya.”
Kami memang mulai kesulitan. Uang tabungan hampir habis. Aku mulai menjual camilan buatan sendiri secara daring, dan menerima pesanan kecil dari tetangga.
Kadang aku menjahit ulang baju anak-anak, memotong celana menjadi rok, atau menukar baju lama dengan barang kebutuhan lewat barter daring.
***
Mas Bayu... ia semakin sering diam. Bukan karena marah, tapi karena malu. Aku tahu, egonya terluka.
Tapi aku juga tahu, ia tetap lelaki yang sama. Lelaki yang dulu mengeja namaku dalam sujudnya.
Suatu sore yang lembap, saat hujan reda sejenak, anak sulung kami, Raka, pulang dari sekolah dengan wajah tertunduk. Sepatunya berlubang di bagian sol, dan tas punggungnya mulai robek.
“Bu Guru bilang, minggu depan harus bawa buku baru. Tapi... tasku gak kuat, malah sobek,” katanya pelan, berusaha menahan tangis.
Di belakangnya, adiknya, Naya, memperlihatkan tali sepatunya yang putus. Aku hanya mengelus kepala mereka. Menahan air mata yang rasanya sudah ingin tumpah.
Malam itu, aku dan mas Bayu duduk diam di teras. Aku ceritakan soal sepatu dan tas. Wajah suamiku itu mengeras, matanya sembab.