Bagi Frankl, manusia justru bisa menemukan makna terdalam dalam penderitaan, ketika ia memilih sikap yang benar terhadap situasi yang tidak bisa ia ubah.
Frankl tidak mencari bahagia di luar dirinya. Ia memilih sikap hidup yang bermakna, meskipun hidupnya dikepung oleh derita. Di situlah letak kebahagiaan sebagai kebebasan batin, bukan hadiah dari kondisi eksternal.
Eksistensialisme: Kebebasan untuk Memilih Bahagia
Filsafat eksistensialis mengajarkan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas, namun kebebasan itu sering kali membawa kecemasan.
Sartre menyebut bahwa kita “dikutuk untuk bebas,” artinya kita tidak bisa lepas dari tanggung jawab atas pilihan hidup kita sendiri—termasuk dalam urusan bahagia.
Jika kita tidak bahagia, barangkali bukan karena dunia kejam, tetapi karena kita belum berani memilih sikap yang sejati terhadap hidup.
Menerima hidup, termasuk absurditas dan luka-lukanya, adalah langkah awal untuk membebaskan diri dan memulai penciptaan makna.
Bahagia Adalah Proyek Kesadaran
Bahagia tidak perlu dicari, sebab ia bukan benda yang hilang. Bahagia adalah proyek sadar, yang dibangun dari pemahaman diri, penerimaan realitas, dan keberanian untuk hidup otentik.
Ketika kita berhenti menggantungkan bahagia pada dunia luar dan mulai menanamkannya dalam ruang batin yang jujur, saat itulah kita mulai benar-benar hidup.
Bahagia bukan milik mereka yang sempurna, tetapi milik mereka yang memaknai hidup dengan kejujuran dan keberanian. Maka jangan cari bahagia ke luar, karena ia justru tumbuh ketika kita menyelami ke dalam.