Mohon tunggu...
Nuning Sapta Rahayu
Nuning Sapta Rahayu Mohon Tunggu... Guru Pendidikan Khusus/Penulis/Asesor/Narasumber

Guru Pendidikan khusus, Penulis Buku Panduan Guru Pengembangan Komunikasi Autis, aktivis pendidikan dan pecinta literasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Rumah Tak Lagi Aman: 'Fantasi Sedarah' dan Krisis Peran Orang Tua

17 Mei 2025   19:00 Diperbarui: 17 Mei 2025   18:25 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kekerasan Seksual (Sumber: Jirawatfoto)

Di benak banyak orang, rumah adalah tempat perlindungan paling aman, terutama bagi anak-anak. Namun, di tengah laju zaman dan derasnya arus digital, rumah justru kian terancam kehilangan maknanya sebagai ruang aman.

Fenomena terbaru yang viral di media sosial mengungkap keberadaan komunitas maya 'fantasi sedarah' yang menyebarkan dan bertukar konten fantasi inses, dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu. 

Tak sekadar mengejutkan, ini mengundang pertanyaan mendalam: bagaimana mungkin ruang yang mestinya melindungi justru menjadi sumber kekerasan yang terbungkus dalam ilusi ‘fantasi’?

Kaburnya Batas antara Imajinasi dan Kekerasan

Fantasi seksual dalam ranah privat mungkin selama ini dianggap wilayah personal yang tak perlu diganggu. 

Namun ketika isi fantasi menyentuh tema relasi sedarah—antara ayah dan anak, kakak dan adik, atau anggota keluarga lain—dan disebarluaskan dalam bentuk narasi atau diskusi publik, maka batas antara imajinasi dan kekerasan menjadi kabur.

Dalam pandangan Sigmund Freud, dorongan bawah sadar dapat membentuk khayalan seksual yang muncul dari konflik masa kecil, baik nyata maupun sekadar rekaman mental. 

Salah satu konsepnya, “primal scene”, menyebut bahwa anak-anak yang tanpa sengaja menyaksikan interaksi seksual orang tuanya bisa menyimpan gambaran tersebut dalam bawah sadar dan mengembangkannya menjadi fantasi seksual

Meski Freud tidak melegitimasi fantasi inses, ia mengakui bahwa ketegangan antara hasrat dan larangan sosial bisa muncul sebagai konflik psikologis dalam benak manusia.

Namun jika kita berhenti pada pemahaman ini, kita berisiko menyederhanakan masalah dan bahkan membuka ruang pembenaran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun