Di benak banyak orang, rumah adalah tempat perlindungan paling aman, terutama bagi anak-anak. Namun, di tengah laju zaman dan derasnya arus digital, rumah justru kian terancam kehilangan maknanya sebagai ruang aman.
Fenomena terbaru yang viral di media sosial mengungkap keberadaan komunitas maya 'fantasi sedarah' yang menyebarkan dan bertukar konten fantasi inses, dengan jumlah anggota mencapai puluhan ribu.
Tak sekadar mengejutkan, ini mengundang pertanyaan mendalam: bagaimana mungkin ruang yang mestinya melindungi justru menjadi sumber kekerasan yang terbungkus dalam ilusi ‘fantasi’?
Kaburnya Batas antara Imajinasi dan Kekerasan
Fantasi seksual dalam ranah privat mungkin selama ini dianggap wilayah personal yang tak perlu diganggu.
Namun ketika isi fantasi menyentuh tema relasi sedarah—antara ayah dan anak, kakak dan adik, atau anggota keluarga lain—dan disebarluaskan dalam bentuk narasi atau diskusi publik, maka batas antara imajinasi dan kekerasan menjadi kabur.
Dalam pandangan Sigmund Freud, dorongan bawah sadar dapat membentuk khayalan seksual yang muncul dari konflik masa kecil, baik nyata maupun sekadar rekaman mental.
Salah satu konsepnya, “primal scene”, menyebut bahwa anak-anak yang tanpa sengaja menyaksikan interaksi seksual orang tuanya bisa menyimpan gambaran tersebut dalam bawah sadar dan mengembangkannya menjadi fantasi seksual.
Meski Freud tidak melegitimasi fantasi inses, ia mengakui bahwa ketegangan antara hasrat dan larangan sosial bisa muncul sebagai konflik psikologis dalam benak manusia.
Namun jika kita berhenti pada pemahaman ini, kita berisiko menyederhanakan masalah dan bahkan membuka ruang pembenaran.