Ketika anak dianggap kelewat nakal—melawan guru, merusak fasilitas, bahkan membahayakan temannya—beberapa pihak mulai melirik solusi instan: pendidikan ala barak militer.
Pendekatan ini dinilai mampu membentuk disiplin dan "menghajar" kenakalan yang dianggap kebablasan. Namun, di balik wacana keras tersebut, muncul pertanyaan yang jauh lebih mendalam: bagaimana dengan anak-anak Tunalaras?
Mereka yang mengalami gangguan emosi dan perilaku, kerap kali bukan karena keinginan nakal, melainkan akibat trauma, pengabaian, atau kekerasan masa lalu?
Fenomena ‘Sekolah Barak’ untuk Anak Bermasalah
Belakangan ini, media sosial dan beberapa tokoh publik menggulirkan ide “barak militer” sebagai tempat pendidikan alternatif bagi anak-anak yang dianggap tak mampu dikendalikan oleh sekolah umum.
Wacana ini merespons keresahan guru dan orang tua yang merasa kewalahan menghadapi anak-anak dengan perilaku ekstrem.
Di beberapa kota, bahkan mulai dibuka kelas-kelas semi-militer dengan seragam, aba-aba, dan pendekatan fisik yang mengedepankan disiplin ala militer. Namun benarkah ini solusi?
Anak Tunalaras: Di Antara Label ‘Nakal’ dan Luka yang Tak Terlihat
Anak-anak dengan kebutuhan khusus jenis Tunalaras (Tuna Laras) kerap kali terjebak dalam stigma. Perilaku mereka yang impulsif, agresif, atau menarik diri sering dianggap sebagai kenakalan.
Padahal, sebagian besar dari mereka menyimpan luka batin akibat kekerasan, penelantaran, atau gangguan psikososial lainnya.